Tuesday 23 December 2014

Filosof Muslim Di Barat

Filosof muslim
Islam sebagaimana dijumpai pada zaman sekarang ternyata tidak sesempit yang difahami pada umumnya, dalam sejarah dapat dilihat bahwa islam bersumberpada al qur’an dan sunnah yang dapat berhubungan dengan luas kepada masyarakat dan tumbuh dengan subur. Dari persentuhan tersebut lahir berbagai disiplin ilmu keislaman seperti filsafat tasawuf dan ilmu kalam.
Dari ilmu itu banyak sekali melahirkan berbagai ilmuan yang atau disebut cendikiawan dan para filosof muslim yakni mereka yang berusaha mengeluarka ide ide yang cemerlang demi tegaknya perdaban islam setelah masa nabi muhammad, dari sini pula ketika umat muslim pada puncak keemasan lahirlah begitu banyak para filosof muslim dari barai khususnya di andalusia atau sekarang disebut sepanyol.

Mereka adalah ibnu bajjah, ibnu thufail dan ibnu masarrah, mereka bertiga adalah ilmuan atau filosof dari bagian barat belahan dunia. Yang mana tidak dapat diragukan lagi bahwa ada pemikiran filsafat yang tumbuh dalam islam: mempunyai banyak tokoh dan aliran, problematika dan teori, disamping berbagai kekhususan dan keistimewaannya.
Dan pada makalah ini kami akan membahas sedikitnya tiga filosof dari barat yang terkenal dan mempunyai cara pandang berbeda dalam menyikapi islam. Ibnu bajjah dengan karyanya, filsafat dan teori etikanya telah hadir di hadapan kita.
Ibnu thufail denagn karyanya dan filsafatnya serta kaya lainnnya. Serta  ibnu masarrah sebagai salah satu filosof muslim barat yang termasuk orang yang mempunyai pemikiran atau ide yang cemerlang.

BAB II
B. PEMBAHASAN
1.       IBNU BAJJAH
A.        Riwayat Hidup Dan Karyanya
            Ibnu bajjah dilahirkan di saragosta pada abad ke 11 M. tahun kelahirannya yang asli tidak diketahui dengan pasti, demikian pula dengan masa kecil dan mas mudanya. Sejarah mencatat ia hidup di serville, granda dan fas. Ibnu bajjah juga telah menulis beberapa risalah tentang logika di kota servile pada tahun 1128 M, ibnu bajjah juga meninggal dif as pada tahun 1138 M. dan menurut satu riwayat ibnu bajjah meninggal akibat diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu dan ketenarannya.[1]
            Ia juga dikenl dengan sebutan nama Abu Bakar Muhammad Bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan ibnus shaigh atau ibnu bajjah. Orang orang eropa pada abad abad pertengahan menamai ibnu bajjah dengan “Avemface”, sebagaimana mereka menyebut nama nama ibnu sina, ibnu gaberal, ibnu taufil dan inu rusyd, masing masing dengan Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes.[2]
            Dalam filsafatnya ibnu bajjah juga membawa pemikiran tentang materi dan bentuk, psikologi akal dan pengetahuan, tuhan sumber pengetahuan, filsafat politik dan etika.[3] Mengenai filsafat psikologinya ia dasarkan pada fisika. Dia memulai pembahasannya mengenai jiwa dengan defenisi dan menyatakan bahwa tubuh, baik yang alamiah maupun yang  tidak alamiah, adalah tersusun dari materi dan bentuk yang merupakan perolehan permanen atau kenyatan tubuh. Kenyataan itu bisa bermacam macam dan memiliki segala hal yang bereksistensi dan dapat melaksanakan fungsinya tanpa harus digerakkan, atau sesuai yang aktif bila digerakkan. Tubuh jenis kedua itu terdiri atas penggerak dan yang digerakkan, sedangakn tubuh yang tidak alamiah hanya memiliki penggerak luar. Dan bentuk yang membuat sesuatu menjadi nyata dalam sebuah tubuh alamiah disebut jiwa.[4]
            Sebagai seorang filosof , ibnu bajjah juga mengarang buku, yakni, bukuny yang ditulis ialah:
1.   Beberapa risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (spanyol).
2.   Risalah tentang jiwa.
3.   Risalah al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan akal.
4.   Risalah al-Wada’, berisi tentang uraian penggerak pertama bagimanusia dan tujuan sebenarnya bagi wujud manusia dan alam.
5.   Beberapa risalah tentang falak ddan ketabiban.
6.   Risalah Tadbir al mutawahhid.
7.   Beberapa ulasan terhadap buku buku filsafat, anatara lain yakni aristoteles, al farabi, porphyries, dan sebagainya.
Menuraut carra de vaux, di perpustakaan berlin ada 24 risalah manuskrip karangan ibnu bajjah. Diantara karangan karangan itu yang paling penting ialah risalah tadbir al mutawahhid yang membicarakan usaha usaha orang yang menjauhi segala macam keburukan-keburukan masyarakat, yang disebut mutawahhid, yang berarti “penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas sehingga memungkinkan kita dpat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut agar dapat bertemu dengan akal akal dan menjadi slah satu unsure pokok bagi negri yang diidamkan.[5]

B.        Antara filosof dan filsafatnya
Filosof barat yang pertama kali mempelajari secara mendalam pemikiran ala farabi dan aristoteles adalah ibnu bajjah. Karangan karangan ibnu bajjah dapat menuntun ibnu rusyd untuk mengenal al farabi dan aristoteles.
Mengenai akal ibnu bajjah mengatakan bahwa akal sebagai daya berpikir adalah sumber semua pekerjaan manusia. Para ahli filsafat umumnya menganggapa akal serupa dengan jiwa. Roh ada tiga macam, yaitu roh sekali berpikir, roh jiwa untuk menggerakkan, dan roh tabiat untuk merasakan dan mengindra.
Dalam hal ini mengingatkan kita pada teori al farabi dan aristoteles tentang jiwa negative,jiwa sensitive, dan jiwa akali yang mana dari ketiga itu adalah kesatuan rohani manusia. Akal merupakan segi rohani manusia yang melebihkan drajatnya dari hewan dan tumbuhan.
Dalam Rasawatul Wada’ Ibnu Bajjah menjelaskan bahwa manusia dengan berpikir sendiri (berfilsafat) akan sanggup memahami dirinya sendiri dan dapat memahami (makrifat) akal yang tinggi, yaitu tuhan yang maha kuasa.[6]
Ibnu bajjah menetang pandangan Al Ghazali mengenai filsafat, akan tetapi banyak mengomentari filsafat Aristoteles. Ibnu bajjah berhasil memberi corak baru filsafat islam dibarat terutam mengenai teori ma’rift dalam efitologi. Dala hal ini pandangannya berbeda sama sekali dengan Al-Ghazali.[7]

C.        Toeri etika
            Sifat akali menurut ibnu bajjah adalah faktor rohani yang mengerakkan manusia pada kesusilaan. Sebagai dari akhlaq. Misalnya sifat berani dari singa, sifat sombong dari merak, sifat malu, sifat patu dan sebagainya. Akan tetapi, sifat akali manusia yang menjadi pangkal ilmu mereka adalah sifat kesempuranaan yang dapat mengatasi sifat sifat hewani tersebut.
            Tegasnya yang dimaksudkannya dengan sifat akali dalam etikanya ini ialah sifat yang mengutamakan pertimbangan rohani yang tinggi, yakni akal, dari pertimbangan rohani yang rendah, sifat sifat rohani (naluri) hewani.[8]

2.       IBNU THUFAIL
A.        Riwayat hidup dan karyanya
            ibnu thufail terkenal dengan filosof  muslim yang gemar menaungkan pemikiran kefilsafatanya melalui kisah kisah yang ajaib dan penuh dengan kebenaran. Ia adalah abu bakar muhammad bin abdul malik bin thufail, dilahirkan di wadi asy dekat granada, pada tahun 506 H/1110 M kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran, kesustraan, matematika dan filsafat. Ia menjadi dokter pribadi Abu Yaqub Yusuf al mansur ia memperoleh kedudukan yang tingi dan dapat mengumpulkan orang orang pada masanya di istana khalifah itu, diantaranya ialah ibnu rusyd yang diundang untuk mengulas buku buku karangan aristoteles.[9]
            Ibnu thufail mempelajari ilmu kedokteran di grananda, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia murid ibnu bajjah, akan tetapi ia mengaku bahwa ia tidak pernah bertemu dengan astronomi dan fisika.[10]
            Karya tulis Ibnu thufail yang dikenal orang sedikit sekali. Karyanya yang terpopuler dan masih ditemukan sampai sekarang ialah hayy yaqzhan ( roman philosophique ), yang judul lengkapnya risalat ibn hayya yaqzhan  fi Asrar al- Masyriqiyyat.
            Karya ibnu Tuhfail ini merupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran fisafatnya. Sebelumnya, judul ini telah di beri oleh ibnu Sina kepada salah karya esoteriknya. Demikian juga, nama tokoh ibnu Absal dan Salman telah ada dalam buku ibnu Sina, Salman wa Absal.[11]

B.        Filsafatnya
            Untuk memparkan pandangan-pandangan filsafatnya, ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk kisah filsafat, dalam bentuk yang terkenal Hayy ibn Yaqzhan. Kisah ini di tulis oleh ibnu Thufail sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang mengetahui hikma ketimuran ( al-hikmah al- musyriqiyyat ).
Ia nilai tidak berpandangan jauh, membangun filsafat hanya atas dasar kaidah-kaidah dan akal, sedangkan dasar pengalaman yang bersifat kasy ruhani ( tasawuf ) tidak mendapat perhatiannya. Al-farabi ia pandang bersikap ragu-ragu dan tidak memberikan kepastian dalam masalah-masalah filsafat, seperti dalam bukunya, al-millat al-fadhilat, Al-farabi menyatakan bahwa yang jelek ( al-nufus al- syarirat ) akal selamanya sesudah mati dalam kesengsaraan, tetapi dalam bukunya al syiasat al-madaniyyat, ia nyatakan pula bahwa yang kekal hanya jiwa utama ( al nufus al- fadhilat ). Ibnu Sina ia kritik sebagai filosof yang tidak konsisten. Ibnu Sina menulis kitab al-syifa dan menyatakan berdasarkan mazhab Aristoteles. Kata ibnu Thufail, banyak hal yang di sebut dalam al-syifa tidak ada dalam buku Aristoteles. Di sisi lain, gaya bahasa ibnu Sina sering tidaka bisa di pahami maksudnya. Al-Ghazali, menurut ibnu Thufail banyak menulis buku yang ditujukan bagi orang-orang awam. Akibatnya, ia mempunyai pendirian “ dua muka “ ( mutlak ). Dalam buku Tahafut al-Falasifat, Al-Ghzali mengkafirkan para filosof muslim yang berpendapat bahwa di akhirat nanti yang akan menerima pembalasan kesenangan ( surga ) atau kesengsaraan ( neraka ) adalah rohani semata. Namun dalam buku al-Mizan dan al munqiz min al-dhalal, ia membenarkan dan menerima pendapat para filosof muslim yang kafirkan itu. Dengan demikian, berarti al-Ghazali mengafirkan dirinya sendiri.[12]

3.         IBNU MASSARAH
            Ibnu masarrah lahir di cordoba pada 269 H/883 M,hidup disana sampai 20-an tahun, kemudian terpaksa menyingkir dari andalusiadan pergi ke dunia islam belahan timur. Menurut catatan yang ada, ia pernah berjumpa di mekkah dengan dua sufi ini: Nahrajuri  (w.330 H/941 M) dan abu sa’id ibn Muhammad ibn Ziyad ibn al-‘arabi (w.341 H/952 M). Tidak diketahui berapa lama ia berada di wilayah kawasan timur Dunia islam. Tapi ada informasi yang menunjukkan bahwa pada tahun 300 H/912 M (pada tahun itu Abdur Rahman III mulai menjadi penguasa cordoba dan bersikap toleran) ia dan para pengikutnya sudah berada pada sebuah zawiah (perkampungan kaum sufi) di siera, dekat cordoba, menjalani kesufian. Di zawiah itulah ia menetap sampai wafat pada tahun 319 H/931 M.
            Ia menganut paham emanasi, yang lebih mirip dengan kerangka emanasi plotinus. Menurutnya, tuhan adalah wujud pertama, pencipta, maha mengetahui, maha berkehendak, dan sebab pertama atau sebab dari segala sebab.akibat pertama sebagai ciptannya yang langsung adalah al unsur, yang oleh para ahli di terjemahkan sebagai materi pertama, yang bersifat rohaniah dan menjadi sumber bagi wujud potensil dan wujud wujud yang mengandung kejamakan. akibat kedua yang di hasilkan tuhan melalui unsur adalah al-aql (akal). Selanjutnya ciptaannya yang ketiga, melalui dua pertama, adalah an nafas (jiwa). Ciptaannya yang ke empat, melalui tiga pertama, adalah natur semesta (tabiat umum), dan ciptaannya yang kelima, yang sudah bersifat tersusun (murakkab).[13]
            Mengenai jiwa manusia, ibnu masarrah memiliki pandangan bahwa jiwa manusia yang bersifat individualadalah abagia dari jiwa universal (an nafs). Keberadaan jiwa itu di dalam tubuh manusia dipandang sebagai keberadaan dalam penjara. Manusia haruslah melepaskan jiwanya dari penjara badan denag melakukan perjalanan spiritual mendekati tuhan, seperti yang diajarkan dalam tasawuf. Untuk ini, meneurut ibnu masarrah, falsafat mampu menghasilkan kemauanyang kuat dala jiwa untuk menjauhi kehidupan duniawi yang rendah. Buah dari perjalanan spiritual tasawuf ini adalah datangnya karunia tuhan berupa penyiaran jiwa/ hati denga sinar ilahi, dan itulah makrifah yang memberikan kebahagian yang sejati.
            Seperti umumnya para filosof muslim dan sebagian para sufi, ibnu masarrah juga menganut paham bahwa kebangkitan manusia kelak di hari akhirat adalah kebangkitan rohani, dan bukan kebangkitan jasmani. Hukuman api neraka yang menyala nyala itu tidak dipahaminya dengan arti hakiki, tapi dengan arti majazi. Pahamnya ini menjadi salah satu sebab timbalnya reaksi negatif di kalangan para fukha/ulama terhadap dirinya. Ia mendapat tuduhan dari para fukaha sebagi orang yang menganut faham bahwa tuhan tidak mengetahui peristiwa peristiwa partikular, kecuali setelah peristiwa peristiwa itu terjadi. Tuduhan tersebut keliru karena karena bagi ibnu masarrah, ilmu tuhan adalah sebab bagi munculnya peristiwa peristiwa partikular itu.[14]

BAB III
C. KESIMPULAN
A.        PENUTUP
            Dari pembahasan diatas, kita telah dapat membuktikan bahwa keluasan dan kedalaman filsafat islam dan pemikiran islam, baik baik yangberkembag di kawasan islam timur (arab) mauppun islam di barat (sepanyol, andalusia) sebagaimana filsafat lain filsafat islam mempunyai kedudukan yang amat penting dalam dunia pemikiran islam dan bahkan orang barat mungkin tidak akan mengenal filsafat adalah sains tanpa kontribusi dari islam,.
            Penulis berharap agar pembuatan makalah ini mampu mengantarkan kita menjadi seorang akdemisi yang berparadigma denagn paradigma islam yakni menggunakan al-quran dan hadist.


B.      Daftar pustaka
Aziz Dahlan. Abdul. 2002. Pemikiran falsafi dalam  islam, Djambatan. jakarta.
Drs. Poerwatana dkk; seluk beluk filsafat islam.
Hanafi, Achmad, MA,1981, pengntar filsafat islam. Bulan bintang. Jakarta
Nata, Abuddin,1998 ilmu kalam filsafat dan tasawuf, rajawali pers.
Sudarsono, 2004 filsafat islam Rineka cipta. Jakarta.
Zar, Sirajuddin, 2004, FILSAFAT ISLAM Filosof & filsafat. Rajawai pers. Jakarta



[1] Drs. Sudarsono, filsafat islam Rineka cipta, Jakarta: hlm  75
[2] Achmad hanafi, MA; pengntar filsafat islam, hlm 157
[3] Drs. Abuddin nata, ilmu kalam filsafat dan tasawuf, rajawali pers, hlm 105
[4] Ibid, hlm 105
[5] ibid
[6] Drs. Poerwatana dkk; seluk beluk filsafat islam; hlm 187
[7] Loc,cit hlm 77
[8] Drs. Sudarsono, filsafat islam Rineka cipta, Jakarta: hlm 78
[9] Ibid hlm: 80
[10] Loc, cit hlm 102
[11] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, FILSAFAT ISLAM Filosof & filsafatn hlm:
[12] Ibid hlm : 209
[13] Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan. Pemikiran falsafi dalam  islam, jakarta, 2002.hlm ; 141
[14] Ibid  hlm; 142

Unknown

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.
 

Copyright @ 2013 Edi.my.id.