Monday 15 September 2014

PERILAKU ORGANISASI MOTIVASI

Ilustrasi Prilaku Organisasi Motivasi
Motivasi
Menurut Kenneth N. Wexley dan Gary A. Yukl, motivasi adalah proses dimana perilaku diberikan energi dan diarahkan[1]. Mereka menambahkan, disamping dorongan intuisi, konsep motivasi merupakan bidang yang paling sulit dalam psikologi. Satu alasannya adalah bahwa motivasi tidak dapat diamati secara langsung. Suatu proses hipotetik hanya dapat disimpulkan dengan mengamati perilaku orang, mengukur perubahan-perubahan dalam pelaksanaan kerjanya, atau memintanya untuk menjelaskan kebutuhan-kebutuhan serta tujuan-tujuannya.

Adapun menurut Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita mengungkapkan, Motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan, mengarahkan, perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu[2].
Dari dua pendapat di atas maka penulis lebih cenderung pada pendapat yang kedua. Dalam hubungan dengan motivasi dalam organisasi, ada beberapa ahli seperti Flipo yang mengemukakan pendapatnya bahwa motivasi dalam organisasi adalah suatu keahlian dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga keinginan para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Robin yang mengemukakan bahwa motivasi organisasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individu.[3] Letak persamaan dari beberapa pendapat tadi adalah terletak pada faktor yang mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan, suatu perilaku untuk memenuhi tujuan tertentu.
Proses timbulnya motivasi  seseorang merupakan gabungan dari konsep kebutuhan, dorongan, tujuan dan imbalan. Dalam proses motivasi ini terdapat beberapa proses, yaitu:
1.        Munculnya suatu kebutuhan yang belum terpenuhi menyebabkan adanya ketidak seimbangan (tention) dalam diri seseorang dan berusaha menguranginya dengan berperilaku terntentu.
2.        Kemudian orang tersebut mencari cara untuk memuaskan keinginannya tersebut.
3.        Seseorang mengarahkan perilakunya kearah pencapaian tujuan atau prestasi dengan cara-cara yang telah dipilihnya dengan didukung oleh kemampuan, ketrampilan maupun pengalamannya.
4.        Mengevaluasi terhadap prestasi yang telah dilakukan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
5.        Imbalan atau hukuman yang diterimanya atau dirasakan tergantung kepada evaluasi atas prestasi yang dilakukan.
6.        Menilai sejauh mana perilaku dan imbalan telah memuaskan kebutuhannya.
Teori-Teori Motivasi
Teori Motivasi pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu teori kepuasan (content theories) dan teori proses (process theories)[4]. Teori kepuasan tentang motivasi berkaitan dengan factor yang ada dalam diri seseorang yang memotivasinya. Sedangkan teori proses berkaitan dengan bagaimana motivasi itu terjadi atau bagaimana perilaku itu digerakkan.
A.      Teori Kepuasan
1.      Teori Hirarki Kebutuhan
Jika manusia memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, maka seberapa banyak kebutuhan-kebutuhan ini bergerak pada saat yang sama?. Adakah sejumlah kebutuhan lebih penting dari kebutuhan yang lainnya?. Maslow (1954) merumuskan suatu teori “Hirarki Kebutuhan” untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.[5]
Menurut Maslow, terdapat lima kelompok kebutuhan yang berbeda-beda, yaitu: kebutuhan fisiologis (kebutuhan dasar), kebutuhan keamanan, kebutuhan social, kebutuhan penghargaan, serta kebutuhan aktualisasi diri. Dia melanjutkan kebutuhan-kebutuhan ini berlaku kepada setiap manusia dan disusun menurut hirarki kepentingannya. Pada suatu saat hanya kebutuhan yang belum terpenuhi  yang mengendalikan perilaku seseorang. Setelah kebutuhan ini banyak terpenuh, maka kebutuhan tersebut akan turun derajat kepentingannya dan perilaku seseorang kemudian dikendalikan oleh kebutuhan yang  belum terpenuhi berikutnya dalam hirarki.
Pada awalnya banyak orang beranggapan teori  ini dapat diandalkan. Namun, pada suatu tinjauan terakhir terhadap riset yang relevan menyimpulkan bahwa sedikit sekali kenyataan yang mendukung pendapat Maslow ini (Wahba dan Bridwell)[6]. Memang terdapat banyak bukti yang mengungkapkan bahwa kebutuhan-kebutuhan fisiologis perlu dipertimbangkan terlebih  dahulu dari jenis-jenis kebutuhan yang lain, tetapi tidak terdapat bukti yang baik bahwa kebutuhan-kebutuhan yang lain  bergerak sesuai dengan urutan-urutan yang dibuat Maslow. Lebih jauh, konsep “aktualisasi diri” didefinisiskan sangat lemah, dan sedikit alasan untuk menyakini bahwa aktualisasi diri ada sebagai kebutuhan manusia yang berbeda dan terpisah. Singkatnya tidak terdapat dasar yang kuat untuk suatu hipotesa bahwa hanya satu kebutuhan yang bergerak pada suatu waktu tertentu, sebagaimana yang diungkapkan Maslow.
2.      Teori ERG
Tidak jauh berbeda dengan teori Hirarki Kebutuhan, teori ERG dari Clayton Alderfer juga menganggap bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki. Alderfer dan Maslow sependapat bahwa orang cenderung meningkatkan hirarki kebutuhannya sejalan dengan terpuaskannya kebutuhan yang di bawahnya. Akan tetapi Alderfer tidak yakin atau tidak sependapat dengan Maslow, bahwa suatu kebutuhan harus terpuaskan terlebih dahulu sebelum tingkat kebutuhan yang di atasnya muncul.[7]
Teori  ERG didasarkan pada tiga proposisi pokok, Yaitu:
-          Semakin kurang masing-masing tingkat kebutuhan dipuaskan semakin besar keinginan untuk memuaskannya.
-          Semakin dipuaskannya tingkat kebutuhan yang lebih rendah semakin besar atau semakin kuat keinginan utuk memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih tinggi.
-          Semakin kurang tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dipuaskan semakin rendah tingkat kebutuhan yang diinginan.
Atas dasar proposisi, teori ERG dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu:[8]
-          Kebutuhan Eksistensi
Kebutuhan eksistensi berupa semua kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan fisiologis dan material dan kebutuhan rasa aman seperti kebutuhan akan makanan, minuman, perumahan, keamanan. Jika dalam organisasi kebutuhan ini berupa upah, kondisi kerja, jaminan social dan lain sebagainya.
-          Kebutuhan akan keterikatan
Kebutuhan ini sama dengan kebutuhan social Maslow.  Kebutuhan ini meliputi semua bentuk kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan hubungan antar pribadi di tempat kerja.
-          Kebutuhan Pertumbuhan
Kebutuhan ini meliputi semua kebutuhan yang berkaitan dengan pengembangan potensi seseorang termasuk kebutuhan aktualisasi diri dan penghargaan dari Maslow.
3.      Teori Dua Faktor
Teori ini dikemukakan oleh Herzberg yang dihasilkan dari suatu penelitian terhadap 200 orang akuntan dan insinyur.[9] Dan kesimpulannya adalah:
-          Ada sejumlah kondisi ekstrinsik pekerjaan, yang apabila kondisi ini tidak ada, menyebabkan ketidak puasan di antara para karyawan. Kondisi ini disebut dissatisfiers atau hygiene factors, karena kondisi atau factor-faktor tersebut dibutuhkan minimal untuk menjaga adanya ketidakpuasan. Faktor-faktor ini berkaitan dengan keadaan pekerjaan yang meliputi factor-faktor sebagai berikut:
a.       Gaji
b.      Jaminan pekerjaan
c.       Kondisi kerja
d.      Status
e.       Kebijaksanaan perusahaan
f.       Kualitas supervisi
g.      Kualitas hubungan antar pribadi dengan atasan, bawahan dan sesama perkerja
h.      Jaminan sosial
-          Sejumlah kondisi intrinsic pekerjaan yang apabila kondisi ini ada, dapat berfungsi sebagai motivator, yang dapat menghasilakan prestasi kerja yang baik. Tetapi jika kondisi atau factor-faktor tersebut tidak ada, tidak akan menyebabkan adanya ketidak puasan. Factor-faktor ini berkaitan dengan isi pekerjaan yang disebut dengan nama factor pemuas. Factor-faktor tersebut ialah:[10]
a.       Prestasi
b.      Pengakuan
c.       Pekerjaan itu sendiri
d.      Tanggung jawab
e.       Kemajuan-kemajuan
f.       Pertumbuhan dan perkembangan pribadi
Faktor hygeine atau dissatisfers merupakan factor pencegah yang esensial utuk mengurangi adanya ketidakpuasan. Tidak adanya factor-faktor ini dalam organisasi cenderung menyebabkan adanya ketidakpuasan yang mendalam, dan keberadaannya menciptakan suatu keadaan “ketidakpuasan nol” datau bersifat netral.[11]
Menurut Herzberg factor-faktor seperti tantangan tugas, penghargaan atas hasil kerjanya yang baik, peluang untuk mencapai kemajuan, pertumbuhan pribadi dan pengembangan, dapat memotivasi perilaku. Singkatnya teori dua factor memprediksikan bahwa perbaikan dalam motivasi hanya akan Nampak jika tindaskan manager tidak hanya dipusatkan pada kondisi ektrinsik perkerjaan tetapi juga pada factor kondisi intrinsik  pekerjaan itu sendiri.


4.      Teori kebutuhan Mc Clelland
Mc Chelland meneliti tiga jenis kebutuhan, yaitu:[12]
-          Kebutuhan akan prestasi
Dalam penelitiannya Mc Clelland menemukan bahwa uang tidak begitu penting peranannya dalam meningkatkan prestasi kerja bagi mereka yang memiliki kebutuhan prestasi tinggi, mereka yang memiliki kebutuhan akan prestasi tinggi mereka berprestasi sangat baik insentif financial. Orang yang memiliki kebutuhan prestasi rendah tidak akan berprestasi baik tanpa insentif financial. Studi tidak bermaksud bahwa uang bukan tidak penting bagi mereka yang memiliki kebutuhan prestasi tinggi. Jika mereka yang memiliki kebutuhan akan prestasi tinggi sukses, mereka mencari imbalan ekonomi sebagai bukti dari keberhasilannya.
-          Kebutuhan Afiliasi
Kebutuhan afiliasi merupakan suatu keinginan untuk melakukan hubungan yang bersahabat dan hangat dengan orang lain. Kebutuhan ini sama dengan kebutuhan social dari Maslow.
Orang-orang yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi mencari kesempatan ditempat kerja untuk memuaskan kebutuhan tersebut. oleh karenanya, orang-orang yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung bekerja dengan orang lain dari pada ia bekerja sendiri dan mereka cenderung memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Orang-orang yang memiliki kebutuhan akan afiliasi yang tinggi juga ada kecenderungan bahwa mereka akan berprestasi lebih baik dalam situasi di mana ada dukungan personal dan moral.
-          Kebutuhan akan kekuasaan
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain dan bertanggung jawab kepadanya.
Orang-orang yang memiliki kebutuhan tinggi akan kekuasaan cenderung lebih banyak memberikan saran-saran, lebih sering memberikan pendapat dan evaluasinya, selalu mencoba untuk mempengaruhi orang lain ke dalam cara berpikirnya. Mereka juga cenderung menempatakan diri sebagai pemimpin dilingkungan aktivitas kelompoknya, serta cenderung dekat dengan atasan atau pimpinannya.[13]
                       
B.       Teori Proses
1.      Teori Keadilan
Menurut J Stacy Adam dalam teori keadilan tentang motivasi  mengemukakan, manusia di tempat kerja menilai tentang inputnya dalam hubungannya dalam pekerjaan dibandingkan dengan hasil yang ia peroleh. Mereka membandingkannya dengan orang lain dalam kelompoknya, dengan kelompok yang lain atau dengan orang lain di luar organisasi dimana ia bekerja. Bila persepsi seseorang  menganggap bahwa imbalan atau hasil yang ia peroleh tidak sesuai dengan usahanya atau input yang ia berikan pada organisasi, maka mereka termotivasi untuk menguranginya. Semakin besar  “ketidaksesuaian” (discrepancy) itu dirasakan seseorang, maka ia semakin termotivasi untuk menguranginya. “ketidaksesuaian” terjadi karena adanya perbedaan persepsi diantara dua orang atau lebih tentang kaitan antara masukan dengan hasil yang ia perolehnya.[14]
2.      Teori Pengharapan (Expectancy theori)
Ide dasar dari teori pengharapan adalah bahwa motivasi ditentukan oleh hasil yang diharapkan diperoleh seseorang sebagai akibat dari tindakkannya.[15]
Variabel-variabel kunci dalam teori pengharapan.
Usaha (effort)
Usaha atau dorongan seseorang untuk bertindak tergantung pada (1) pengharapan yaitu persepsi hubungan antara usaha dan prestasi, (2) instrumentalis yaitu hubungan antara prestasi dengan hasil, (3) valensi yaitu nilai dari hasil.[16]


Hasil (outcome)
Hasil merupakan tujuan akhir dari suatu perilaku tertentu. Hasil dibedakan menjadi hasil tingkat pertama dan hasil tingkat kedua. Hasil tingkat pertama adalah hasil dari usaha seseorang dalam melakukan pekerjaan, seperti kuantitas produksi yang dihasilkan, kualitas produksi, dan produktifitas secara umum.
Hasil tingkat kedua (secound-level outcome)
Adalah konsekuensi dari hasil tingkat pertama atau merupakan tujuan akhir dari prestasi. Hasil tingkat kedua meliputi upah, promosi, penghargaan dan imbalan yang lainnya.
Pengharapan (expectancy)
Pengharapan adalah suatu keyakinan atau kemungkinan bahwa suatu usaha atau tindakan tertentu akan menghasilkan suatu tingkat prestasi tertentu.
Instrumentalis (instrumentality)
Instrumentalis berkaitan dengan hubungan antara hasil tingkat pertama dengan hasil tingkat kedua, atau berkaitan dengan hubungan antara prestasi dengan imbalan atas pencapaian prestasi tersebut.
Valensi (valency)
Valensi berkaitan dengan kadar kekuatan keinginan seseorang terhadap hasil tertentu. Valensi dapat bernilai positif atau negatif. Suatu hasil mempunyai valensi positif apabila hasil tersebut disenangi, dan valensi negatif apabila hasil tersebut tidak disenangi.
Model teori pengharapan
Jika seseorang memiliki persepsi peran yang jelas atau memahami tugas dan tanggung jawabnya, memiliki keterampilan dan keahlian yang diperlukan dan jika mereka termotivasi menggunakan usahanya/kemampuannya, maka menurut model ini prestasinya akan baik.[17]
3.      Teori penguatan (reinforcement theory)
Menurut Skiner pendekatan penguatan merupakan konsep dari belajar. Teori penguatan mengemukakan, bahwa perilaku merupakan fungsi dari akibat yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Teori penguatan yang dalam hal ini menggunakan konsep pengondisian operan  dapat dipandang sebagai suatu model motivasi yaitu berkaitan dengan membentuk, mengarahkan, mempertahankan dan mengubah perilaku dalam organisasi. [18]
Jenis-jenis penguatan
a.       Penguatan positif
Penguatan positif berkaitan dengan memperkuat respon atau perilaku yang diinginkan. Dengan memberikan penguat atas perilaku yang diinginkan sehingga perilaku tersebut akan diulangi kembali. Misalnya, pimpinan perusahaan mebel memberi perintah kepada seorang karyawan untuk merancang suatu rancangan atau disain suatu mebel (stimulus). Karyawan tersebut menggunakan segala kemampuan dan keterampilannya untuk menyelesaikan rancangan mebel tersebut tepat pada waktunya (tanggapan atau respon). Pimpinan perusahaan tersebut tidak hanya memberikan penghargaan tetapi juga kenaikan imbalan atas disain mebel yang bagus dihasilkan karyawannya (penguatan positif).
b.      Penguatan negative
Penguatan negative atau penghindaran, adalah mencegah menghilangkan akibat yang tidak menyenangkan. Perbedaan antara penguatan positif dengan penguatan negative adalah, kalau penguatan positif karyawan bekerja keras agar memperoleh imbalan dari organisasi karena prestasi kerjanya yang baik, maka penguatan negative karyawan bekerja keras untuk menghindari  akibat stimulus yang tidak diinginkan.
c.       Hukuman
Penerapan hukuman dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan perilaku  yang tidak diinginkan akan diulangi kembali. Misalnya, perusahaan menetapkan jam kerja dimulai jam 0.800 (stimulus), ada beberapa karyawan yang terlambat (Perilaku yang tidak diinginkan perusahaan), kemudian mereka diberi peringatan oleh pimpinan perusahaan (konsekuensi). Harapannya agar perilaku yang tidak diinginkan tersebut tidak diulangi kembali.
4.      Teori penetapan tujuan
Teori penetapan tujuan dikembagkan oleh Edwin Locke, dimana teori ini menguraikan hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja. Konsep dasar dari teori penetapan tujuan adalah bahwa karyawan yang memahami tujuan (apa yang diharapkan organisasi terhadapnya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Dengan menetapkan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan prestasi kerja.[19]


Kesimpulan
Dari uraian diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa motivasi dalam organisasi yaitu faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan, mengarahkan, perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. Hal ini senada dengan pendapat dari beberapa ahli seperti Flipo yang mengemukakan pendapatnya bahwa motivasi dalam organisasi adalah suatu keahlian dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga keinginan para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Robin yang mengemukakan bahwa motivasi organisasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individu. Letak persamaan dari beberapa pendapat tadi adalah terletak pada faktor yang mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan, suatu perilaku untuk memenuhi tujuan tertentu. Adapun jenis-jenis teori motivasi terbagi menjadi dua yaitu teori kepuasan dan teori proses. Teori kepuasan mempunyai karakteristik yaitu berkaitan dengan faktor-faktor yang membangkitkan atau memulai perilaku, sedangkan teori proses berkaitan dengan bagaimana perilaku digerakkan, diarahkan, didukung atau dihentikan.
Dalam teori kepuasan terdapat beberapa teori, yaitu:
·         Teori Hirarki Kebutuhan
·         Teori ERG
·         Teori Dua Faktor
·         Teori kebutuhan Mc Clelland
Demikian juga dalam teori  proses terdapat beberapa teori, yaitu:
·         Teori Keadilan
·         Teori Pengharapan (Expectancy theori)
·         Teori penguatan (reinforcement theory)
·         Teori penetapan tujuan
 





[1] Kenneth N. Wexley dan Gary A. Yukl, Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hlm. 98
[2] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 28
[3] http://www.anneahira.com/motivasi/motivasi-organisasi.htm
[4] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 29
[5] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 30
[6] Kenneth N. Wexley dan Gary A. Yukl, Op.cit, Hlm. 103
[7] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 32
[8] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 33-34
[9] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 35
[10] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 35
[11] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 36
[12] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 36
[13] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 39
[14]Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 40
[15]Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 42
[16] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 42
[17] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 42-44
[18] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 46-48
[19] Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, Hlm. 48

Unknown

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.
 

Copyright @ 2013 Edi.my.id.