Sunday 13 November 2011

Pernikahan Fisik dan Rohani

Apakah keadaan berpasang-pasangan yang mempakan hikmah Allah (sunatullah-pent.) yang mengatur hubungan pria dan wanita hanya sebatas fisik saja atau juga rohani? Dan apakah karakter wanita sebagai manusia berbeda dengan karakter pria sebagai manusia sehingga kita dapat menerapkan perkataan kita tentang kemampuan hukum berpasang-pasangan untuk mencapai tingkat ini (tingkat rohani-pent.)?
Sesungguhnya ayat ini-di samping ayat-ayat lain yang berbicara tentang tabiat perkawinan (keadaan berpasang-pasangan) menunjukkan bahwa keadaan berpasang-pasangan dalam pengertian yang dalam-melampaui aspek materi menuju aspek rohani,
karena kasih ( mawaddah) dan sayang ( rahmah) merupakan unsur akhlak dan rohaniah yang menggambarkan perpaduan spiritual antara dua orang. Maka, barangsiapa mencintai seseorang dan menyayanginya, perasaan-perasaan orang ini (kekasihnya) akan masuk dalam hitungan perasaannya dan rohaninya, sehingga menjadi- kan keadaan berpasang-pasangan sebagai suatu proses kesatuan fisik dan rohani, dan sebagai salah satu bentuk kelekatan yang mendekati kesatuan. Inilah yang diungkapkan oleh Al-Qur'an al- Karim, "Mereka (kaum wanita) adalah pakaian bagi kalian (kaum pria) dan kalian juga pakaian bagi mereka. " (QS. al-Baqarah: 187) Hubungan suami-istri menjadi seperti hubungan manusia dengan bajunya, dan seakan-akan wanita berpakaian pria dan pria berpakaian wanita. Dan bentuk kelekatan ini bukan hanya kelekatan fisik, karena kelekatan fisik merupakan bagian dari kehidupan berpasang-pasangan ( al-hayat az-zaujiyyah) dan tidak mencakup keseluruhannya, karena kelekatan dengan kehidupan pasti menghasilkan perasaan-perasaan dan lain sebagainya, disebabkan adanya hubungan masing-masing mereka dengan yang lain.


Keadaan berpasang-pasangan secara rohani dan jiwa yang diikuti dengan keadaan berpasang-pasangan secara fisik di antara keduanya tidak berarti masing-masing mereka mempunyai karakter kemanusiaan yang berbeda sehingga karena itu mereka perlu berpasang-pasangan. Bukankah Allah telah menciptakan wanita dan pria dari satu esensi? Dan kesatuan di sini terkait dengan garis kebijakan umum (al-khath al-'am) dalam membangun kepribadian kemanusiaan dari sisi penyediaan potensi-potensi dan gerakannya serta cakrawalanya, dan potensi pengayaan ( al-ighna ) dan proses menjadi kaya ( al-ightina ) melalui interaksi dengan lingkungan dan seterusnya dari dimensi-dimensi yang mewujudkan kemanusiaan manusia.

Tetapi, dapat dikatakan bahwa wanita memang memiliki keistimewaan (perbedaan) dalam struktur dirinya dengan adanya unsur feminin, yang terkadang diekspresikan dengan suatu gaya atau dengan gaya yang lain, dan terkadang dalam bentuk keibuan yang mewujud dalam sebagian karakter emosional dan perasaan yang boleh jadi berbeda dengan pria. Sebaliknya, peranan pria sebagai penanggung jawab keluarga, baik yang berurusan dengan anak-anak, istri, apalagi dirinya sendiri, mewujudkan suatu perbedaan dalam struktur dirinya dibandingkan dengan wanita dari sisi perasaan dan emosi. Dan karena peranan keibuan yang berarti pengasuhan anak secara emosional dan penjagaannya berbeda dengan peranan kebapakan yang berarti penjagaan urusan si anak baik dari sisi rohani maupun materi dan jaminan masa depannya, maka karakter kualifikasi-kualifikasi yang mereka perlukan juga berbeda sesuai dengan perbedaan dua peran ini. Perbedaan itu tertuang dalam pengabdian menuju kesempurnaan antara dua peran ini dan pemilik peranan itu.


Unknown

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.
 

Copyright @ 2013 Edi.my.id.