Deliar Noer berkata, “Nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan
nasionalisme Islam”. Katanya lagi, “Sesuatu gerakan yang penting di
Indonesia mulanya adalah gerakan orang-orang Islam. Mereka yang bergerak di
bawah panji-panji yang bukan Islam kebanyakannya terdiri dari mereka yang telah
meninggalkan tempat buaian mereka semula, tempat mereka mula-mula sekali
mengecap asam garam pergerakan.”
- kompilasi chm : www.pakdenono.com - juni 2007-
Oleh Agung Pribadi
Hal ini dapat kita buktikan. Beberapa tokoh
pergerakan nasional terkemuka dari berbagai aliran berasal dari gerakan Islam.
Untuk aliran nasionalisme radikal Ki Hajar Dewantara (Suwardi
Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI). Soekarno sendiri
pernah menjadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri di bawah bimbingan
Tjokroaminoto. Bahkan beberapa tokoh-tokoh PKI zaman pergerakan nasional
berasal dan terinspirasi oleh perjuangan SI. Tan Malaka sendiri, yang
menurut Kahin, adalah seorang Komunis Nasionalis dan pendiri partai Murba,
berasal dari SI Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya
gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat (Poeze: 1988).
Umat
Islam menduduki peran utama dalam gerakan politik dan militer. Semua perang yang
terjadi bersukma dari seruan jihad, perang suci. Sewaktu Pangeran
Diponegoro–pemimpin Perang Jawa–memanggil sukarelawan, maka kebanyakan mereka
yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari pelosok desa. Pemberontakan
petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19
selalu di bawah bendera Islam. Tindakan ini menyebabkan ia lebih dicintai dan
dihormati rakyatnya.
Demikian pula yang dilakukan oleh Tengku Cik Di
Tiro, Teuku Umar, dan diteruskan oleh Cut Nyak Dhien dari
tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape (Kafir-kafir) Belanda yang
menyengsarakan umat Islam dan rakyat Aceh.
Begitu juga dengan perang
Padri. Bisa dilihat, nama perang Padri menunjukkan perang ini adalah perang
keagamaan. Kata padri berasal dari kata ‘Padre’ (pendeta atau
pastur). Nama perang ini diberikan Belanda, meskipun Belanda memberi
penafsiran yang salah bahwa pejuang-pejuang itu adalah ‘pendeta-pendeta’. Perang
tersebut berlangsung selama 16 tahun. Selama itu bentrokan terjadi di kalangan
ulama Indonesia: ‘kaum tua’ dengan ‘kaum muda’ dan golongan adat dengan ‘kaum
muda’.
Bentrokan ini dimanfaatkan Belanda untuk mengadu domba, namun
tidak berhasil. Akhirnya kedua kubu yang saling berselisih itu bersatu dan
bersama-sama melawan Belanda.
Para ulama juga memimpin pemberontakan
terakhir yang terjadi pada tahun 1927 di pantai barat Sumatera. Belanda, seperti
pemerintahan Orde Baru, mencap semua pemberontakan melawan pemerintahan adalah
komunis atau PKI. Sehingga hari ini kita temui dalam buku sejarah bahwa
pemberontakan tahun 1927 di Sumbar itu adalah PKI. Padahal itu dilakukan oleh
Sumatera Thawalib. Memang ada sebagian anggota Sumatera Thawalib yang kemudian
menjadi anggota PKI tapi itu hanya sebagian kecil saja (Lihat Deliar Noer,
Gerakan Modern Islam di Indonesia).
Pada saat itu gerak maju
perjuangan kemerdekaan Indonesia pindah ke lingkungan politik dan sipil, namun
tetap mempunyai warna Islam yang kuat.
Pada 1912, pergerakan
politik Indonesia yang pertama, yakni Sarekat Islam (SI), didirikan.
Dengan segera, SI menjadi gerakan massa dengan anggotanya mencapai 2 juta orang
pada tahun 1919. Sebenarnya Sarekat Islam sudah berdiri sejak tahun 1905 dengan
nama Sarekat Dagang Islam.
H. Agus Salim, Tamar Djaja,
Ridwan Saidi, Anwar Harjono, Ahmad Mansyur Suryanegara, dan
Adabi Darban pernah berkata bahwa tanggal berdirinya Sarekat Dagang Islam
ini lebih tepat disebut sebagai “Hari Kebangkitan Nasional”, dan bukan
tahun 1908 dengan patokan berdirinya Boedi Oetomo. Karena ruang lingkup Boedi
Oetomo hanyalah Pulau Jawa, bahkan hanya etnis Jawa Priyayi pada tahun 1908 itu.
Sedangkan Sarekat Dagang Islam mempunyai cabang-cabang di seluruh Indonesia.
Jadi inilah yang layak disebut “Nasional”.
Tetapi golongan nasionalis
sekuler, sejarawan-sejarawan yang tidak nasionalis, sejarawan-sejarawan “netral”
yang menulis sejarah berdasarkan ‘pesanan’ mengaburkan hal ini. Golongan
nasionalis menyimpangkan karena takut. Asas SDI (Sarekat Dagang Islam) adalah
Islam, sedangkan golongan nasionalis sekuler paling takut pada Islam sebagai
suatu ‘gerakan’. Mereka disebut Islamofobia, meski mereka mengaku beragama
Islam. Lalu mengapa Boedi Oetomo yang dijadikan patokan? Karena Boedi Oetomo
berdasarkan “Nasionalisme Sekuler” atau lebih tepat lagi “Nasionalisme Jawa
Sekuler”!
Seorang orientalis, G.H. Jansen, pernah menyebutkan
beberapa alasan yang menyebabkan kemunduran Sarekat Islam. “Programnya merupakan
kombinasi yang kurang serasi antara Islam yang agak konservatif dengan
anti-kolonialisme yang keras. Kombinasi ini akhirnya menghancurkan kesatuan di
dalam diri organisasi itu sendiri dan popularitas organisasi” (G.H. Jansen,
Islam Militan).
Tapi sesungguhnya Jansen telah salah besar. Dikotomi
yang ia nyatakan, Islam dan antikolonialisme adalah keliru. Sebab salah satu
karakteristik Islam adalah antikolonialisme. Apalagi dengan mengatakan Islam itu
“agak konservatif”. Ini salah sekali. Karena Islam itu progresif dan “up to
date”, selalu relevan sepanjang zaman.
Kesalahan lain Jansen karena ia
mengatakan penyebab kehancuran SI adalah kombinasi yang kurang serasi antara
Islam dengan antikolonialisme. Padahal penyebabnya (penyebab utama) adalah
infiltrasi dan penetrasi dari orang-orang komunis kepada Sarekat Islam. Mereka
mengira Islam dan komunis sama karena sama-sama membela kaum tertindas
(mustadh’afin).
Penyebab tertipunya orang-orang Islam anggota SI ini
adalah karena SI kurang memberikan porsi yang cukup untuk membahas Islam secara
ilmiah, pembahasan masalah sosial, dan kehidupan sehari-hari secara ilmiah.
Sedangkan orang-orang komunis menyentuh bidang akal. Akhirnya hancurlah SI.
Tadinya SI adalah sebuah partai politik terbesar di Indonesia/Hindia Belanda
kemudian pecah menjadi dua. SI Putih tetap bergaris dan berhaluan Islam,
sedangkan SI Merah bergaris dan berhaluan komunis yang nantinya berubah menjadi
PKI.
Saingan SI yang berhasil adalah Muhammadiyah.
Sebenarnya kurang tepat juga bila disebut saingan karena kedua organisasi ini
‘fastabiqul khairat’ (berlomba-lomba berbuat kebaikan), apalagi
mereka menghadapi musuh yang sama yaitu penjajah Belanda. Tetapi penulis tetap
memakai istilah ini karena berdasarkan pada istilah yang dipakai para ahli
sejarah Indonesia, baik sejarawan Indonesia maupun sejarawan asing
(Indonesianis). Muhammadiyah didirikan di tahun yang sama, 1912. Muhammadiyah
aktif khususnya dalam bidang pendidikan dan sosial dakwah bilhal serta dakwah
bil lisan.
Tahun 1925 berdirilah Jong Islamieten Bond (JIB).
Anggotanya kebanyakan adalah golongan elit yang berpendidikan Barat yang masih
ingin memegang teguh keislaman. JIB di kemudian hari banyak menghasilkan
pemimpin-pemimpin Indonesia Merdeka, semisal M. Natsir, Moh. Roem,
Yusuf Wibisono, Harsono Tjokroaminoto, Sjamsuridjal, dan
lain sebagainya. Dengan demikian sampai tahun 1930 pergerakan nasional Indonesia
praktis didominasi (kalau tidak mau disebut dimonopoli) aktivis-aktivis Islam.
Perjuangan tahun 1930-an sampai 1940-an terdiri dari pergerakan Islam dan
golongan nasionalis sekuler atau “kalangan kebangsaan yang netral agama”,
istilahnya Deliar Noer.
Orang-orang nasionalis berkata bahwa o-rang-orang
nasrani pun turut berjuang dalam usaha mengusir penjajah. Mereka mengambil
contoh Pattimura atau Thomas Mattulessy. Padahal tulisan tentang
Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong dan isapan jempol dari seorang yang
bernama M. Sapija (Agung Pribadi, Pattimura itu Muslim Taat, 2003 atau
Drs. M. Nour Tawainella, “Menjernihkan Sejarah Pahlawan Pattimura” dalam Panji
Masyarakat 11 Mei 1984). Tokoh Thomas Mattulessy tak pernah ada. Yang ada adalah
Kapiten Ahmad Lussy atau Mat-Lussy, seorang Muslim yang memimpin
perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah Belanda.
Menurut Fakta
sejarah, bahkan Sisingamangaraja XII pun seorang muslim. Tetapi Nugroho
Notosusanto cs berkata bahwa Sisingamangaraja XII adalah penganut agama
Sinkretis antara agama Kristen, Islam dan agama Batak.
Jendral Sudirman
yang seorang guru Muhammadiyah pun adalah seorang Islam yang taat. Sudirman
berjuang mengusir Belanda tidak atas dasar nasionalisme sekuler. Dia berjuang
sebagai seorang Muslim yang membela negaranya. Tulisan tentang beliau kebanyakan
ditulis oleh orang-orang nasionalis sekuler seperti Nugroho Notosusanto yang
kini terbukti telah memalsukan Sejarah PKI. Ia juga kedapatan memalsukan sejarah
Jong Islamieten Bond pada buku Sejarah Nasional Indonesia jilid V halaman
195-196.
R.A. Kartini pun bukanlah seorang yang memperjuangkan
emansipasi wanita an sich. Ia seorang pejuang Islam. R.A. Kartini sedang dalam
perjalanan menuju Islam yang kaaffah, ketika ia mencetuskan ide-idenya. R.A.
Kartini sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam)
atau minazh zhulumati ilan nuur (Habis Gelap Terbitlah Terang),
tetapi ia wafat sebelum sempat membaca terjemahan al-Qur’an selain juz 1 sampai
juz 10. Akibatnya pengaruh teman-temannya yang mayoritas Nasrani dan Feminis
Liberal, bahkan ada yang Yahudi, masih terlihat jelas.
Fakta Peranan
Pemuda Islam
Ada fakta menarik yang dipublikasikan oleh Ahmad Mansyur
Suryanegara tentang peranan pemuda. Selama ini tokoh-tokoh seperti Endang
Saefuddin Anshari, Harry J Benda, John Igleson Clifford Geertz, dalam karyanya
menggolongkan tokoh agama yang karena menyandang gelar “Haji” atau “Kiai”
menyangka bahwa mereka sudah tua. Padahal mereka adalah para pemuda. Misalnya
HOS Tjokroaminoto pada waktu ia memimpin SI usianya masih muda. Pada tahun 1912
ia baru berusia 30 tahun. Melihat ke masa sekarang pengertian pemuda berdasarkan
keputusan Menteri P dan K RI No. 0323/V/1978, pemuda adalah orang di luar
sekolah maupun perguruan tinggi dengan usia antara 15-30 tahun. Kiai Haji Mas
Mansur yang pada usia 12 tahun sudah menunaikan ibadah haji, sudah masuk
gerakan mencintai tanah air. Kemudian mendirikan Nahdhatul Wathan yang berarti
“Kebangkitan Negeri atau Negara” pada tahun 1916 saat usianya baru 20 tahun. Ia
lalu pindah ke Muhammadiyah dan aktif di sana pada umur 26
tahun.
Demikian pula halnya dengan organisasi pemudi, rata-rata anggota
dan pemimpinnya di bawah 30 tahun. Tetapi selama ini para ahli menggolongkannya
sebagai gerakan wanita. Apalagi dengan peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember,
maka orang mengira bahwa yang bergerak adalah ibu-ibu yang berusia cukup
tua.
Pemuda Islam Indonesia Zaman Jepang
Pada awal pendudukan
Jepang semua organisasi dilarang, kecuali MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia) yang nantinya menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia). Organisasi semi militer dari Masyumi adalah Hizbullah dan
Sabilillah yang juga diperbolehkan eksis. Di sana adalah ajang pelatihan
semi militer dari pemuda-pemuda. Lambang organisasi militer PETA
adalah simbol Islam, yaitu bulan sabit. Yang menjadi komandan-komandan
PETA dipilih orang yang berpengaruh. Selain guru sekolah, banyak sekali guru
pesantren yang menjadi komandan PETA dengan pangkat perwira menengah. Menurut
seorang ahli dari Belanda, BJ Boland, ini adalah salah satu hikmah pendudukan
Jepang bagi umat Islam Indonesia, yaitu islamisasi di kalangan tentara
Indonesia. Tetapi di akhir pendudukannya, Jepang lebih mendekati golongan
nasionalis sekuler melalui Jawa Hokokai (Kebaktian Jawa) dan gerakan
3A.
Pemuda Islam Pasca Proklamasi
Pada masa Revolusi mayoritas
orang Islam berjuang dengan takbir “Allahu Akbar”. HMI pun berdiri di
tengah-tengah revolusi tahun 1947. Pada Masa Demokrasi Liberal, Organisasi
Kemasyarakatan Pemuda (OKP) menjadi organisasi Onderbouw atau bawahan dari
partai-partai yang ada. Dengan kata lain pemuda terlibat dalam “Politik Aliran”.
HMI walaupun independen dan bukan merupakan Onderbouw Masyumi seperti yang
dikira banyak orang, akan tetapi tokoh-tokoh HMI sangat dekat dengan tokoh-tokoh
Masyumi karena adanya persamaan ideologi keagamaan (modernisme Islam) dan
kepentingan, yaitu anti PKI.
Pemuda dan Mahasiswa Islam
1965-1985
Pemuda Islam terutama PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) berperan sangat besar dalam Orde Baru. Biasanya
apabila ada suatu perubahan sosial baik yang radikal (revolusi) atau evolusi,
peran pemuda Islam terutama mahasiswa Islam cukup menonjol. Misalnya dalam
revolusi di Iran dengan Bani Sadr, Khomeini, dan Ali Syariatinya, di Afghanistan
dengan Ghulam Muhammad Niyazi beserta murid-muridnya para ketua aliansi tujuh
partai terbesar di Afghanistan semisal Gulbudin Hikmatyar, Abdur Rabir Rasul
Sayyaf, Burhanudin Rabbani, dan lain-lain. Juga revolusi di Aljazair dengan
Abbas Madani beserta FIS-nya. Evolusi di Malaysia dengan Anwar Ibrahim yang
dulunya merupakan aktivis demonstrasi mengkritik pemerintah Malaysia (dia
berasal dari ABIM, Angkatan Belia Islam Malaysia), dan masih banyak
contoh-contoh lainnya.
Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu
menonjol, misalnya Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional yang
mana cabang-cabangnya tersebar di seluruh Indonesia. Pemuda Masyumi pada masa
Demokrasi Liberal juga sangat berperan. Untuk periode 1960-an sampai 1970-an
yang menonjol adalah PII, HMI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia,
organisasi di bawah naungan NU). Akan tetapi dalam periode 1965-1985 peranan
pemuda Islam agak tersamarkan karena semua organisasi pemuda Islam, para
anggotanya melepas “jaket” dan melebur dalam organisasi yang bersifat
nasionalis. PII masuk dalam KAPPI. HMI dan PMII dalam KAMI dan banyak lagi.
Organisasi-organisasi seperti di atas terlibat dalam bentrokan-bentrokan fisik
di lapangan (di daerah) dan mengalami benturan sangat keras. Benturan antara
kubu “hijau” dengan kubu “merah”. Dalam mengkritik Rezim Soekarno, PII dan HMI
sangatlah vokal dan ini menjadi ciri mereka yang utama. Tetapi entah mengapa
sejak HMI mengakui Pancasila sebagai asasnya, ciri vokal itu hilang. Atau PII
yang tetap vokal dan tidak mengakui Asas Tunggal Pancasila menyebabkan
organisasi itu secara atas tanah dikatakan bubar tetapi di bawah tanah PII itu
tetap eksis, namun menjadi PII-Ilegal. Tahun 1973 pelajar-pelajar Islam yang
tergabung dalam PII menguasai gedung DPR-RI pada saat berlangsung sidang
membahas RUU Perkawinan.
Pada tanggal 20 Maret 1978 terjadi Demonstrasi
menentang P4 dan aliran kepercayaan masuk GBHN oleh Gerakan Pemuda Islam (GPI)
yang dimotori Abdul Qadir Djailani. Demikian pula delegasi PII, HMI, GP Anshor,
IMM, IPNU, dan PMII intensif berdialog di gedung MPR-RI dengan para anggota MPR
sejak tahun 1977 sampai tahun 1978 menentang masuknya aliran kepercayaan dalm
GBHN 1978. Last but not least, HMI, IMM, PMII, dan pendatang baru KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) sangatlah berperan dalam aksi-aksi
reformasi menumbangkan Soeharto. Ternyata dalam rentang waktu yang panjang ini
pemuda Islam sangat berperan dalam menentukan jalannya negeri ini.
Lalu,
apakah kita hanya akan merenungi kejayaan masa lampau ataukah akan menentukan
buat masa depan? Itu semua tergantung kepada kita sendiri! Wallahu A’lam bish
Shawab.
Penulis Peneliti Yayasan Harkat Bangsa