Filosof muslim |
Islam sebagaimana dijumpai pada zaman sekarang ternyata tidak sesempit yang
difahami pada umumnya, dalam sejarah dapat dilihat bahwa islam bersumberpada al
qur’an dan sunnah yang dapat berhubungan dengan luas kepada masyarakat dan
tumbuh dengan subur. Dari persentuhan tersebut lahir berbagai disiplin ilmu
keislaman seperti filsafat tasawuf dan ilmu kalam.
Dari ilmu itu banyak
sekali melahirkan berbagai ilmuan yang atau disebut cendikiawan dan para
filosof muslim yakni mereka yang berusaha mengeluarka ide ide yang cemerlang
demi tegaknya perdaban islam setelah masa nabi muhammad, dari sini pula ketika
umat muslim pada puncak keemasan lahirlah begitu banyak para filosof muslim
dari barai khususnya di andalusia atau sekarang disebut sepanyol.
Mereka adalah ibnu bajjah, ibnu thufail dan ibnu
masarrah, mereka bertiga adalah ilmuan atau filosof dari bagian barat belahan
dunia. Yang mana tidak dapat diragukan lagi bahwa ada pemikiran filsafat yang
tumbuh dalam islam: mempunyai banyak tokoh dan aliran, problematika dan teori,
disamping berbagai kekhususan dan keistimewaannya.
Dan pada makalah ini kami akan membahas sedikitnya
tiga filosof dari barat yang terkenal dan mempunyai cara pandang berbeda dalam
menyikapi islam. Ibnu bajjah dengan karyanya, filsafat dan teori etikanya telah
hadir di hadapan kita.
Ibnu thufail denagn karyanya dan filsafatnya serta
kaya lainnnya. Serta ibnu masarrah
sebagai salah satu filosof muslim barat yang termasuk orang yang mempunyai
pemikiran atau ide yang cemerlang.
BAB II
B. PEMBAHASAN
1. IBNU BAJJAH
A. Riwayat
Hidup Dan Karyanya
Ibnu bajjah dilahirkan di saragosta pada
abad ke 11 M. tahun kelahirannya yang asli tidak diketahui dengan pasti,
demikian pula dengan masa kecil dan mas mudanya. Sejarah mencatat ia
hidup di serville, granda dan fas. Ibnu bajjah juga telah menulis beberapa
risalah tentang logika di kota
servile pada tahun 1128 M, ibnu bajjah juga meninggal dif as pada tahun 1138 M.
dan menurut satu riwayat ibnu bajjah meninggal akibat diracuni oleh seorang
dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu dan ketenarannya.[1]
Ia
juga dikenl dengan sebutan nama Abu Bakar Muhammad Bin Yahya, yang terkenal
dengan sebutan ibnus shaigh atau ibnu bajjah. Orang orang eropa pada abad abad
pertengahan menamai ibnu bajjah dengan “Avemface”, sebagaimana mereka menyebut
nama nama ibnu sina, ibnu gaberal, ibnu taufil dan inu rusyd, masing masing
dengan Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes.[2]
Dalam filsafatnya ibnu
bajjah juga membawa pemikiran tentang materi dan bentuk, psikologi akal dan
pengetahuan, tuhan sumber pengetahuan, filsafat politik dan etika.[3]
Mengenai filsafat psikologinya ia dasarkan pada fisika. Dia memulai
pembahasannya mengenai jiwa dengan defenisi dan menyatakan bahwa tubuh, baik
yang alamiah maupun yang tidak alamiah,
adalah tersusun dari materi dan bentuk yang merupakan perolehan permanen atau
kenyatan tubuh. Kenyataan itu bisa bermacam macam dan memiliki segala hal yang
bereksistensi dan dapat melaksanakan fungsinya tanpa harus digerakkan, atau
sesuai yang aktif bila digerakkan. Tubuh jenis kedua itu terdiri atas penggerak
dan yang digerakkan, sedangakn tubuh yang tidak alamiah hanya memiliki
penggerak luar. Dan bentuk yang membuat sesuatu menjadi nyata dalam sebuah
tubuh alamiah disebut jiwa.[4]
Sebagai seorang
filosof , ibnu bajjah juga mengarang buku, yakni, bukuny yang ditulis ialah:
1. Beberapa risalah dalam ilmu logika, dan
sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (spanyol).
2. Risalah tentang jiwa.
3. Risalah al-Ittisal, mengenai pertemuan
manusia dan akal.
4. Risalah al-Wada’, berisi tentang uraian
penggerak pertama bagimanusia dan tujuan sebenarnya bagi wujud manusia dan
alam.
5. Beberapa risalah tentang falak ddan
ketabiban.
6. Risalah Tadbir al mutawahhid.
7. Beberapa ulasan terhadap buku buku filsafat,
anatara lain yakni aristoteles, al farabi, porphyries, dan sebagainya.
Menuraut carra de vaux, di
perpustakaan berlin ada 24 risalah manuskrip karangan ibnu bajjah. Diantara
karangan karangan itu yang paling penting ialah risalah tadbir al mutawahhid
yang membicarakan usaha usaha orang yang menjauhi segala macam
keburukan-keburukan masyarakat, yang disebut mutawahhid, yang berarti
“penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas sehingga memungkinkan kita dpat
mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut agar dapat bertemu
dengan akal akal dan menjadi slah satu unsure pokok bagi negri yang diidamkan.[5]
B. Antara
filosof dan filsafatnya
Filosof barat
yang pertama kali mempelajari secara mendalam pemikiran ala farabi dan
aristoteles adalah ibnu bajjah. Karangan karangan ibnu bajjah dapat menuntun
ibnu rusyd untuk mengenal al farabi dan aristoteles.
Mengenai akal
ibnu bajjah mengatakan bahwa akal sebagai daya berpikir adalah sumber semua
pekerjaan manusia. Para ahli filsafat umumnya
menganggapa akal serupa dengan jiwa. Roh ada tiga macam, yaitu roh sekali
berpikir, roh jiwa untuk menggerakkan, dan roh tabiat untuk merasakan dan
mengindra.
Dalam hal ini
mengingatkan kita pada teori al farabi dan aristoteles tentang jiwa
negative,jiwa sensitive, dan jiwa akali yang mana dari ketiga itu adalah
kesatuan rohani manusia. Akal merupakan segi rohani manusia yang melebihkan
drajatnya dari hewan dan tumbuhan.
Dalam Rasawatul
Wada’ Ibnu Bajjah menjelaskan bahwa manusia dengan berpikir sendiri
(berfilsafat) akan sanggup memahami dirinya sendiri dan dapat memahami
(makrifat) akal yang tinggi, yaitu tuhan yang maha kuasa.[6]
Ibnu bajjah
menetang pandangan Al Ghazali mengenai filsafat, akan tetapi banyak
mengomentari filsafat Aristoteles. Ibnu bajjah berhasil memberi corak baru
filsafat islam dibarat terutam mengenai teori ma’rift dalam efitologi. Dala hal
ini pandangannya berbeda sama sekali
dengan Al-Ghazali.[7]
C. Toeri
etika
Sifat akali menurut ibnu bajjah adalah
faktor rohani yang mengerakkan manusia pada kesusilaan. Sebagai dari akhlaq.
Misalnya sifat berani dari singa, sifat sombong dari merak, sifat malu, sifat
patu dan sebagainya. Akan tetapi, sifat akali manusia yang menjadi pangkal ilmu
mereka adalah sifat kesempuranaan yang dapat mengatasi sifat sifat hewani
tersebut.
Tegasnya yang
dimaksudkannya dengan sifat akali dalam etikanya ini ialah sifat yang
mengutamakan pertimbangan rohani yang tinggi, yakni akal, dari pertimbangan
rohani yang rendah, sifat sifat rohani (naluri) hewani.[8]
2. IBNU THUFAIL
A. Riwayat hidup dan karyanya
ibnu thufail terkenal dengan filosof muslim yang gemar menaungkan pemikiran
kefilsafatanya melalui kisah kisah yang ajaib dan penuh dengan kebenaran. Ia
adalah abu bakar muhammad bin abdul malik bin thufail, dilahirkan di wadi asy
dekat granada, pada tahun 506 H/1110 M kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran,
kesustraan, matematika dan filsafat. Ia menjadi dokter pribadi Abu Yaqub Yusuf
al mansur ia memperoleh kedudukan yang tingi dan dapat mengumpulkan orang orang
pada masanya di istana khalifah itu, diantaranya ialah ibnu rusyd yang diundang
untuk mengulas buku buku karangan aristoteles.[9]
Ibnu thufail mempelajari
ilmu kedokteran di grananda, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia murid ibnu
bajjah, akan tetapi ia mengaku bahwa ia tidak pernah bertemu dengan astronomi
dan fisika.[10]
Karya tulis Ibnu thufail
yang dikenal orang sedikit sekali. Karyanya yang terpopuler dan masih ditemukan
sampai sekarang ialah hayy yaqzhan ( roman philosophique ), yang
judul lengkapnya risalat ibn hayya yaqzhan
fi Asrar al- Masyriqiyyat.
Karya ibnu Tuhfail ini
merupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran fisafatnya. Sebelumnya, judul
ini telah di beri oleh ibnu Sina kepada salah karya esoteriknya. Demikian juga,
nama tokoh ibnu Absal dan Salman telah ada dalam buku ibnu Sina, Salman wa
Absal.[11]
B. Filsafatnya
Untuk memparkan
pandangan-pandangan filsafatnya, ibnu Thufail memilih metode khusus dalam
bentuk kisah filsafat, dalam bentuk yang terkenal Hayy ibn Yaqzhan. Kisah
ini di tulis oleh ibnu Thufail sebagai jawaban atas permintaan seorang
sahabatnya yang mengetahui hikma ketimuran ( al-hikmah al- musyriqiyyat ).
Ia nilai tidak berpandangan jauh, membangun filsafat hanya atas dasar
kaidah-kaidah dan akal, sedangkan dasar pengalaman yang bersifat kasy ruhani
( tasawuf ) tidak mendapat perhatiannya. Al-farabi ia pandang bersikap
ragu-ragu dan tidak memberikan kepastian dalam masalah-masalah filsafat,
seperti dalam bukunya, al-millat al-fadhilat, Al-farabi menyatakan bahwa
yang jelek ( al-nufus al- syarirat ) akal selamanya sesudah mati dalam
kesengsaraan, tetapi dalam bukunya al syiasat al-madaniyyat, ia nyatakan
pula bahwa yang kekal hanya jiwa utama ( al nufus al- fadhilat ). Ibnu
Sina ia kritik sebagai filosof yang tidak konsisten. Ibnu Sina menulis kitab al-syifa
dan menyatakan berdasarkan mazhab Aristoteles. Kata ibnu Thufail, banyak
hal yang di sebut dalam al-syifa tidak ada dalam buku Aristoteles. Di
sisi lain, gaya bahasa ibnu Sina sering tidaka bisa di pahami maksudnya.
Al-Ghazali, menurut ibnu Thufail banyak menulis buku yang ditujukan bagi
orang-orang awam. Akibatnya, ia mempunyai pendirian “ dua muka “ ( mutlak ).
Dalam buku Tahafut al-Falasifat, Al-Ghzali mengkafirkan para filosof
muslim yang berpendapat bahwa di akhirat nanti yang akan menerima pembalasan
kesenangan ( surga ) atau kesengsaraan ( neraka ) adalah rohani semata. Namun
dalam buku al-Mizan dan al munqiz min al-dhalal, ia membenarkan
dan menerima pendapat para filosof muslim yang kafirkan itu. Dengan demikian,
berarti al-Ghazali mengafirkan dirinya sendiri.[12]
3. IBNU
MASSARAH
Ibnu masarrah lahir di
cordoba pada 269 H/883 M,hidup disana sampai 20-an tahun, kemudian terpaksa
menyingkir dari andalusiadan pergi ke dunia islam belahan timur. Menurut catatan
yang ada, ia pernah berjumpa di mekkah dengan dua sufi ini: Nahrajuri (w.330 H/941 M) dan abu sa’id ibn Muhammad
ibn Ziyad ibn al-‘arabi (w.341 H/952 M). Tidak diketahui berapa lama ia berada
di wilayah kawasan timur Dunia islam. Tapi ada informasi yang menunjukkan bahwa
pada tahun 300 H/912 M (pada tahun itu Abdur Rahman III mulai menjadi penguasa
cordoba dan bersikap toleran) ia dan para pengikutnya sudah berada pada sebuah
zawiah (perkampungan kaum sufi) di siera, dekat cordoba, menjalani kesufian. Di
zawiah itulah ia menetap sampai wafat pada tahun 319 H/931 M.
Ia menganut paham emanasi,
yang lebih mirip dengan kerangka emanasi plotinus. Menurutnya, tuhan adalah
wujud pertama, pencipta, maha mengetahui, maha berkehendak, dan sebab pertama
atau sebab dari segala sebab.akibat pertama sebagai ciptannya yang langsung
adalah al unsur, yang oleh para ahli di terjemahkan sebagai materi
pertama, yang bersifat rohaniah dan menjadi sumber bagi wujud potensil dan
wujud wujud yang mengandung kejamakan. akibat kedua yang di hasilkan tuhan
melalui unsur adalah al-aql (akal). Selanjutnya ciptaannya yang ketiga,
melalui dua pertama, adalah an nafas (jiwa). Ciptaannya yang ke empat,
melalui tiga pertama, adalah natur semesta (tabiat umum), dan ciptaannya yang
kelima, yang sudah bersifat tersusun (murakkab).[13]
Mengenai jiwa manusia,
ibnu masarrah memiliki pandangan bahwa jiwa manusia yang bersifat
individualadalah abagia dari jiwa universal (an nafs). Keberadaan jiwa itu di
dalam tubuh manusia dipandang sebagai keberadaan dalam penjara. Manusia
haruslah melepaskan jiwanya dari penjara badan denag melakukan perjalanan
spiritual mendekati tuhan, seperti yang diajarkan dalam tasawuf. Untuk ini,
meneurut ibnu masarrah, falsafat mampu menghasilkan kemauanyang kuat dala jiwa
untuk menjauhi kehidupan duniawi yang rendah. Buah dari perjalanan spiritual
tasawuf ini adalah datangnya karunia tuhan berupa penyiaran jiwa/ hati denga
sinar ilahi, dan itulah makrifah yang memberikan kebahagian yang sejati.
Seperti umumnya para
filosof muslim dan sebagian para sufi, ibnu masarrah juga menganut paham bahwa
kebangkitan manusia kelak di hari akhirat adalah kebangkitan rohani, dan bukan
kebangkitan jasmani. Hukuman api neraka yang menyala nyala itu tidak
dipahaminya dengan arti hakiki, tapi dengan arti majazi. Pahamnya ini menjadi
salah satu sebab timbalnya reaksi negatif di kalangan para fukha/ulama terhadap
dirinya. Ia mendapat tuduhan dari para fukaha sebagi orang yang menganut faham
bahwa tuhan tidak mengetahui peristiwa peristiwa partikular, kecuali setelah peristiwa
peristiwa itu terjadi. Tuduhan tersebut keliru karena karena bagi ibnu
masarrah, ilmu tuhan adalah sebab bagi munculnya peristiwa peristiwa partikular
itu.[14]
BAB III
C. KESIMPULAN
A. PENUTUP
Dari pembahasan diatas,
kita telah dapat membuktikan bahwa keluasan dan kedalaman filsafat islam dan
pemikiran islam, baik baik yangberkembag di kawasan islam timur (arab) mauppun
islam di barat (sepanyol, andalusia) sebagaimana filsafat lain filsafat islam
mempunyai kedudukan yang amat penting dalam dunia pemikiran islam dan bahkan
orang barat mungkin tidak akan mengenal filsafat adalah sains tanpa kontribusi
dari islam,.
Penulis berharap agar
pembuatan makalah ini mampu mengantarkan kita menjadi seorang akdemisi yang
berparadigma denagn paradigma islam yakni menggunakan al-quran dan hadist.
B. Daftar pustaka
Aziz Dahlan. Abdul. 2002. Pemikiran falsafi dalam islam, Djambatan. jakarta.
Drs. Poerwatana dkk; seluk
beluk filsafat islam.
Hanafi, Achmad, MA,1981, pengntar filsafat islam. Bulan bintang. Jakarta
Nata, Abuddin,1998 ilmu kalam filsafat dan tasawuf, rajawali pers.
Sudarsono, 2004 filsafat
islam Rineka cipta. Jakarta.
Zar, Sirajuddin, 2004, FILSAFAT ISLAM Filosof & filsafat.
Rajawai pers. Jakarta
[1] Drs. Sudarsono,
filsafat islam Rineka cipta, Jakarta:
hlm 75
[2] Achmad
hanafi, MA; pengntar filsafat islam, hlm 157
[3] Drs. Abuddin nata, ilmu kalam filsafat
dan tasawuf, rajawali pers, hlm 105
[4] Ibid, hlm 105
[5] ibid
[6] Drs.
Poerwatana dkk; seluk beluk filsafat islam; hlm 187
[7] Loc,cit hlm 77
[8] Drs.
Sudarsono, filsafat islam Rineka cipta, Jakarta: hlm 78
[9] Ibid hlm: 80
[10] Loc, cit hlm 102
[11] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A,
FILSAFAT ISLAM Filosof & filsafatn hlm:
[12] Ibid hlm : 209
[13] Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan. Pemikiran
falsafi dalam islam, jakarta, 2002.hlm
; 141
[14] Ibid
hlm; 142