Ilustrasi Prilaku Organisasi Motivasi |
Motivasi
Menurut Kenneth N. Wexley dan Gary A. Yukl, motivasi adalah proses
dimana perilaku diberikan energi dan diarahkan[1].
Mereka menambahkan, disamping dorongan intuisi, konsep motivasi merupakan
bidang yang paling sulit dalam psikologi. Satu alasannya adalah bahwa motivasi
tidak dapat diamati secara langsung. Suatu proses hipotetik hanya dapat
disimpulkan dengan mengamati perilaku orang, mengukur perubahan-perubahan dalam
pelaksanaan kerjanya, atau memintanya untuk menjelaskan kebutuhan-kebutuhan
serta tujuan-tujuannya.
Adapun menurut Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita mengungkapkan, Motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan, mengarahkan, perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu[2].
Dari dua pendapat di atas maka penulis lebih cenderung pada
pendapat yang kedua. Dalam hubungan dengan motivasi dalam organisasi, ada
beberapa ahli seperti Flipo yang mengemukakan pendapatnya bahwa motivasi dalam
organisasi adalah suatu keahlian dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar
mau bekerja secara berhasil, sehingga keinginan para pegawai dan tujuan
organisasi sekaligus tercapai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Robin yang
mengemukakan bahwa motivasi organisasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh
kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individu.[3]
Letak persamaan dari beberapa pendapat tadi adalah terletak pada faktor yang
mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan, suatu perilaku untuk memenuhi
tujuan tertentu.
Proses timbulnya motivasi
seseorang merupakan gabungan dari konsep kebutuhan, dorongan, tujuan dan
imbalan. Dalam proses motivasi ini terdapat beberapa proses, yaitu:
1.
Munculnya
suatu kebutuhan yang belum terpenuhi menyebabkan adanya ketidak seimbangan
(tention) dalam diri seseorang dan berusaha menguranginya dengan berperilaku
terntentu.
2.
Kemudian
orang tersebut mencari cara untuk memuaskan keinginannya tersebut.
3.
Seseorang
mengarahkan perilakunya kearah pencapaian tujuan atau prestasi dengan cara-cara
yang telah dipilihnya dengan didukung oleh kemampuan, ketrampilan maupun
pengalamannya.
4.
Mengevaluasi
terhadap prestasi yang telah dilakukan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh
orang lain.
5.
Imbalan
atau hukuman yang diterimanya atau dirasakan tergantung kepada evaluasi atas
prestasi yang dilakukan.
6.
Menilai
sejauh mana perilaku dan imbalan telah memuaskan kebutuhannya.
Teori-Teori Motivasi
Teori Motivasi pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu teori
kepuasan (content theories) dan teori proses (process theories)[4].
Teori kepuasan tentang motivasi berkaitan dengan factor yang ada dalam diri
seseorang yang memotivasinya. Sedangkan teori proses berkaitan dengan bagaimana
motivasi itu terjadi atau bagaimana perilaku itu digerakkan.
A.
Teori
Kepuasan
1.
Teori
Hirarki Kebutuhan
Jika manusia memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, maka seberapa
banyak kebutuhan-kebutuhan ini bergerak pada saat yang sama?. Adakah sejumlah
kebutuhan lebih penting dari kebutuhan yang lainnya?. Maslow (1954) merumuskan
suatu teori “Hirarki Kebutuhan” untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.[5]
Menurut Maslow, terdapat lima kelompok kebutuhan yang berbeda-beda,
yaitu: kebutuhan fisiologis (kebutuhan dasar), kebutuhan keamanan, kebutuhan
social, kebutuhan penghargaan, serta kebutuhan aktualisasi diri. Dia
melanjutkan kebutuhan-kebutuhan ini berlaku kepada setiap manusia dan disusun
menurut hirarki kepentingannya. Pada suatu saat hanya kebutuhan yang belum
terpenuhi yang mengendalikan perilaku
seseorang. Setelah kebutuhan ini banyak terpenuh, maka kebutuhan tersebut akan
turun derajat kepentingannya dan perilaku seseorang kemudian dikendalikan oleh
kebutuhan yang belum terpenuhi
berikutnya dalam hirarki.
Pada awalnya banyak orang beranggapan teori ini dapat diandalkan. Namun, pada suatu
tinjauan terakhir terhadap riset yang relevan menyimpulkan bahwa sedikit sekali
kenyataan yang mendukung pendapat Maslow ini (Wahba dan Bridwell)[6].
Memang terdapat banyak bukti yang mengungkapkan bahwa kebutuhan-kebutuhan
fisiologis perlu dipertimbangkan terlebih
dahulu dari jenis-jenis kebutuhan yang lain, tetapi tidak terdapat bukti
yang baik bahwa kebutuhan-kebutuhan yang lain
bergerak sesuai dengan urutan-urutan yang dibuat Maslow. Lebih jauh,
konsep “aktualisasi diri” didefinisiskan sangat lemah, dan sedikit alasan untuk
menyakini bahwa aktualisasi diri ada sebagai kebutuhan manusia yang berbeda dan
terpisah. Singkatnya tidak terdapat dasar yang kuat untuk suatu hipotesa bahwa
hanya satu kebutuhan yang bergerak pada suatu waktu tertentu, sebagaimana yang
diungkapkan Maslow.
2.
Teori
ERG
Tidak jauh berbeda dengan teori Hirarki Kebutuhan, teori ERG dari
Clayton Alderfer juga menganggap bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam suatu
hirarki. Alderfer dan Maslow sependapat bahwa orang cenderung meningkatkan
hirarki kebutuhannya sejalan dengan terpuaskannya kebutuhan yang di bawahnya.
Akan tetapi Alderfer tidak yakin atau tidak sependapat dengan Maslow, bahwa
suatu kebutuhan harus terpuaskan terlebih dahulu sebelum tingkat kebutuhan yang
di atasnya muncul.[7]
Teori ERG didasarkan pada
tiga proposisi pokok, Yaitu:
-
Semakin
kurang masing-masing tingkat kebutuhan dipuaskan semakin besar keinginan untuk
memuaskannya.
-
Semakin
dipuaskannya tingkat kebutuhan yang lebih rendah semakin besar atau semakin
kuat keinginan utuk memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih tinggi.
-
Semakin
kurang tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dipuaskan semakin rendah tingkat
kebutuhan yang diinginan.
Atas dasar proposisi, teori ERG dapat dikelompokan menjadi tiga
kelompok, yaitu:[8]
-
Kebutuhan
Eksistensi
Kebutuhan
eksistensi berupa semua kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan fisiologis dan
material dan kebutuhan rasa aman seperti kebutuhan akan makanan, minuman,
perumahan, keamanan. Jika dalam organisasi kebutuhan ini berupa upah, kondisi
kerja, jaminan social dan lain sebagainya.
-
Kebutuhan
akan keterikatan
Kebutuhan
ini sama dengan kebutuhan social Maslow.
Kebutuhan ini meliputi semua bentuk kebutuhan yang berkaitan dengan
kepuasan hubungan antar pribadi di tempat kerja.
-
Kebutuhan
Pertumbuhan
Kebutuhan
ini meliputi semua kebutuhan yang berkaitan dengan pengembangan potensi
seseorang termasuk kebutuhan aktualisasi diri dan penghargaan dari Maslow.
3.
Teori
Dua Faktor
Teori ini dikemukakan oleh Herzberg yang dihasilkan dari suatu
penelitian terhadap 200 orang akuntan dan insinyur.[9] Dan
kesimpulannya adalah:
-
Ada
sejumlah kondisi ekstrinsik pekerjaan, yang apabila kondisi ini tidak ada,
menyebabkan ketidak puasan di antara para karyawan. Kondisi ini disebut
dissatisfiers atau hygiene factors, karena kondisi atau factor-faktor tersebut
dibutuhkan minimal untuk menjaga adanya ketidakpuasan. Faktor-faktor ini
berkaitan dengan keadaan pekerjaan yang meliputi factor-faktor sebagai berikut:
a.
Gaji
b.
Jaminan
pekerjaan
c.
Kondisi
kerja
d.
Status
e.
Kebijaksanaan
perusahaan
f.
Kualitas
supervisi
g.
Kualitas
hubungan antar pribadi dengan atasan, bawahan dan sesama perkerja
h.
Jaminan
sosial
-
Sejumlah
kondisi intrinsic pekerjaan yang apabila kondisi ini ada, dapat berfungsi
sebagai motivator, yang dapat menghasilakan prestasi kerja yang baik. Tetapi
jika kondisi atau factor-faktor tersebut tidak ada, tidak akan menyebabkan
adanya ketidak puasan. Factor-faktor ini berkaitan dengan isi pekerjaan yang
disebut dengan nama factor pemuas. Factor-faktor tersebut ialah:[10]
a.
Prestasi
b.
Pengakuan
c.
Pekerjaan
itu sendiri
d.
Tanggung
jawab
e.
Kemajuan-kemajuan
f.
Pertumbuhan
dan perkembangan pribadi
Faktor hygeine
atau dissatisfers merupakan factor pencegah yang esensial utuk mengurangi
adanya ketidakpuasan. Tidak adanya factor-faktor ini dalam organisasi cenderung
menyebabkan adanya ketidakpuasan yang mendalam, dan keberadaannya menciptakan
suatu keadaan “ketidakpuasan nol” datau bersifat netral.[11]
Menurut
Herzberg factor-faktor seperti tantangan tugas, penghargaan atas hasil kerjanya
yang baik, peluang untuk mencapai kemajuan, pertumbuhan pribadi dan
pengembangan, dapat memotivasi perilaku. Singkatnya teori dua factor
memprediksikan bahwa perbaikan dalam motivasi hanya akan Nampak jika tindaskan
manager tidak hanya dipusatkan pada kondisi ektrinsik perkerjaan tetapi juga
pada factor kondisi intrinsik pekerjaan
itu sendiri.
4.
Teori
kebutuhan Mc Clelland
Mc
Chelland meneliti tiga jenis kebutuhan, yaitu:[12]
-
Kebutuhan
akan prestasi
Dalam
penelitiannya Mc Clelland menemukan bahwa uang tidak begitu penting peranannya
dalam meningkatkan prestasi kerja bagi mereka yang memiliki kebutuhan prestasi
tinggi, mereka yang memiliki kebutuhan akan prestasi tinggi mereka berprestasi
sangat baik insentif financial. Orang yang memiliki kebutuhan prestasi rendah
tidak akan berprestasi baik tanpa insentif financial. Studi tidak bermaksud
bahwa uang bukan tidak penting bagi mereka yang memiliki kebutuhan prestasi
tinggi. Jika mereka yang memiliki kebutuhan akan prestasi tinggi sukses, mereka
mencari imbalan ekonomi sebagai bukti dari keberhasilannya.
-
Kebutuhan
Afiliasi
Kebutuhan afiliasi merupakan suatu keinginan untuk melakukan
hubungan yang bersahabat dan hangat dengan orang lain. Kebutuhan ini sama
dengan kebutuhan social dari Maslow.
Orang-orang yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi mencari
kesempatan ditempat kerja untuk memuaskan kebutuhan tersebut. oleh karenanya,
orang-orang yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung bekerja
dengan orang lain dari pada ia bekerja sendiri dan mereka cenderung memiliki
tingkat kehadiran yang tinggi. Orang-orang yang memiliki kebutuhan akan
afiliasi yang tinggi juga ada kecenderungan bahwa mereka akan berprestasi lebih
baik dalam situasi di mana ada dukungan personal dan moral.
-
Kebutuhan
akan kekuasaan
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk mempengaruhi dan
mengendalikan orang lain dan bertanggung jawab kepadanya.
Orang-orang yang memiliki kebutuhan tinggi akan kekuasaan cenderung
lebih banyak memberikan saran-saran, lebih sering memberikan pendapat dan
evaluasinya, selalu mencoba untuk mempengaruhi orang lain ke dalam cara
berpikirnya. Mereka juga cenderung menempatakan diri sebagai pemimpin
dilingkungan aktivitas kelompoknya, serta cenderung dekat dengan atasan atau
pimpinannya.[13]
B.
Teori
Proses
1.
Teori
Keadilan
Menurut J Stacy Adam dalam teori keadilan tentang motivasi mengemukakan, manusia di tempat kerja menilai
tentang inputnya dalam hubungannya dalam pekerjaan dibandingkan dengan hasil
yang ia peroleh. Mereka membandingkannya dengan orang lain dalam kelompoknya,
dengan kelompok yang lain atau dengan orang lain di luar organisasi dimana ia
bekerja. Bila persepsi seseorang
menganggap bahwa imbalan atau hasil yang ia peroleh tidak sesuai dengan
usahanya atau input yang ia berikan pada organisasi, maka mereka termotivasi
untuk menguranginya. Semakin besar
“ketidaksesuaian” (discrepancy) itu dirasakan seseorang, maka ia semakin
termotivasi untuk menguranginya. “ketidaksesuaian” terjadi karena adanya
perbedaan persepsi diantara dua orang atau lebih tentang kaitan antara masukan
dengan hasil yang ia perolehnya.[14]
2.
Teori
Pengharapan (Expectancy theori)
Ide dasar dari teori pengharapan adalah bahwa motivasi ditentukan
oleh hasil yang diharapkan diperoleh seseorang sebagai akibat dari
tindakkannya.[15]
Variabel-variabel
kunci dalam teori pengharapan.
Usaha
(effort)
Usaha atau dorongan seseorang untuk bertindak tergantung pada (1)
pengharapan yaitu persepsi hubungan antara usaha dan prestasi, (2)
instrumentalis yaitu hubungan antara prestasi dengan hasil, (3) valensi yaitu
nilai dari hasil.[16]
Hasil
(outcome)
Hasil merupakan tujuan akhir dari suatu perilaku tertentu. Hasil
dibedakan menjadi hasil tingkat pertama dan hasil tingkat kedua. Hasil tingkat
pertama adalah hasil dari usaha seseorang dalam melakukan pekerjaan, seperti
kuantitas produksi yang dihasilkan, kualitas produksi, dan produktifitas secara
umum.
Hasil
tingkat kedua (secound-level outcome)
Adalah konsekuensi dari hasil tingkat pertama atau merupakan tujuan
akhir dari prestasi. Hasil tingkat kedua meliputi upah, promosi, penghargaan
dan imbalan yang lainnya.
Pengharapan
(expectancy)
Pengharapan adalah suatu keyakinan atau kemungkinan bahwa suatu
usaha atau tindakan tertentu akan menghasilkan suatu tingkat prestasi tertentu.
Instrumentalis
(instrumentality)
Instrumentalis berkaitan dengan hubungan antara hasil tingkat
pertama dengan hasil tingkat kedua, atau berkaitan dengan hubungan antara
prestasi dengan imbalan atas pencapaian prestasi tersebut.
Valensi
(valency)
Valensi berkaitan dengan kadar kekuatan keinginan seseorang
terhadap hasil tertentu. Valensi dapat bernilai positif atau negatif. Suatu
hasil mempunyai valensi positif apabila hasil tersebut disenangi, dan valensi
negatif apabila hasil tersebut tidak disenangi.
Model
teori pengharapan
Jika seseorang memiliki persepsi peran yang jelas atau memahami
tugas dan tanggung jawabnya, memiliki keterampilan dan keahlian yang diperlukan
dan jika mereka termotivasi menggunakan usahanya/kemampuannya, maka menurut
model ini prestasinya akan baik.[17]
3.
Teori
penguatan (reinforcement theory)
Menurut Skiner pendekatan penguatan merupakan konsep dari belajar.
Teori penguatan mengemukakan, bahwa perilaku merupakan fungsi dari akibat yang
berhubungan dengan perilaku tersebut. Teori penguatan yang dalam hal ini
menggunakan konsep pengondisian operan
dapat dipandang sebagai suatu model motivasi yaitu berkaitan dengan
membentuk, mengarahkan, mempertahankan dan mengubah perilaku dalam organisasi. [18]
Jenis-jenis
penguatan
Penguatan positif berkaitan dengan memperkuat respon atau perilaku
yang diinginkan. Dengan memberikan penguat atas perilaku yang diinginkan
sehingga perilaku tersebut akan diulangi kembali. Misalnya, pimpinan perusahaan
mebel memberi perintah kepada seorang karyawan untuk merancang suatu rancangan
atau disain suatu mebel (stimulus). Karyawan tersebut menggunakan segala
kemampuan dan keterampilannya untuk menyelesaikan rancangan mebel tersebut
tepat pada waktunya (tanggapan atau respon). Pimpinan perusahaan tersebut tidak
hanya memberikan penghargaan tetapi juga kenaikan imbalan atas disain mebel
yang bagus dihasilkan karyawannya (penguatan positif).
b.
Penguatan
negative
Penguatan negative atau penghindaran, adalah mencegah menghilangkan
akibat yang tidak menyenangkan. Perbedaan antara penguatan positif dengan
penguatan negative adalah, kalau penguatan positif karyawan bekerja keras agar
memperoleh imbalan dari organisasi karena prestasi kerjanya yang baik, maka
penguatan negative karyawan bekerja keras untuk menghindari akibat stimulus yang tidak diinginkan.
c.
Hukuman
Penerapan hukuman dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan
kemungkinan perilaku yang tidak
diinginkan akan diulangi kembali. Misalnya, perusahaan menetapkan jam kerja
dimulai jam 0.800 (stimulus), ada beberapa karyawan yang terlambat (Perilaku
yang tidak diinginkan perusahaan), kemudian mereka diberi peringatan oleh
pimpinan perusahaan (konsekuensi). Harapannya agar perilaku yang tidak
diinginkan tersebut tidak diulangi kembali.
4.
Teori
penetapan tujuan
Teori penetapan tujuan dikembagkan oleh Edwin Locke, dimana teori
ini menguraikan hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja.
Konsep dasar dari teori penetapan tujuan adalah bahwa karyawan yang memahami
tujuan (apa yang diharapkan organisasi terhadapnya) akan mempengaruhi perilaku
kerjanya. Dengan menetapkan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur
hasilnya akan dapat meningkatkan prestasi kerja.[19]
Kesimpulan
Dari uraian diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
motivasi dalam organisasi yaitu faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang
yang menggerakkan, mengarahkan, perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. Hal
ini senada dengan pendapat dari beberapa ahli seperti Flipo yang mengemukakan
pendapatnya bahwa motivasi dalam organisasi adalah suatu keahlian dalam
mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga
keinginan para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai. Pendapat ini
sejalan dengan pendapat Robin yang mengemukakan bahwa motivasi organisasi
adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan
organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa
kebutuhan individu. Letak persamaan dari beberapa pendapat tadi adalah terletak
pada faktor yang mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan, suatu perilaku
untuk memenuhi tujuan tertentu. Adapun jenis-jenis teori motivasi terbagi
menjadi dua yaitu teori kepuasan dan teori proses. Teori kepuasan mempunyai
karakteristik yaitu berkaitan dengan faktor-faktor yang membangkitkan atau
memulai perilaku, sedangkan teori proses berkaitan dengan bagaimana perilaku
digerakkan, diarahkan, didukung atau dihentikan.
Dalam
teori kepuasan terdapat beberapa teori, yaitu:
·
Teori
Hirarki Kebutuhan
·
Teori
ERG
·
Teori
Dua Faktor
·
Teori
kebutuhan Mc Clelland
Demikian juga dalam teori
proses terdapat beberapa teori, yaitu:
·
Teori
Keadilan
·
Teori
Pengharapan (Expectancy theori)
·
Teori
penguatan (reinforcement theory)
·
Teori
penetapan tujuan
[1] Kenneth N.
Wexley dan Gary A. Yukl, Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, Rineka
Cipta, Jakarta, 1992, Hlm. 98
[2] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 28
[3] http://www.anneahira.com/motivasi/motivasi-organisasi.htm
[4] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 29
[5] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta,
1997, Hlm. 30
[6] Kenneth N.
Wexley dan Gary A. Yukl, Op.cit, Hlm. 103
[7] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 32
[8] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 33-34
[9] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 35
[10] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 35
[11] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 36
[12] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 36
[13] Indriyo Gitosudarmo
dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta,
1997, Hlm. 39
[14]Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 40
[15]Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 42
[16] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 42
[17] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 42-44
[18] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 46-48
[19] Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 1997, Hlm. 48