Fenomena nabi palsu bukanlah hal yang asing lagi
di telinga kita. Bak cendawan di musim hujan, para pembawa ajaran sesat ini
hadir hampir di setiap penjuru dunia. Kedatangan mereka, juga ajaran sesat yang
mereka bawa sangatlah meresahkan. Bahkan pada zaman rasulullah pun sudah ada
yang mengaku sebagai utusan yang mendapatkan wahyu sebagaimana Nabi Muhammad
saw.
Namun bukanlah mereka yang akan kami bahas
pada kesempatan kali ini. Tetapi fenomena yang luar biasa yang terjadi
bersamaan dengan datangnya para pendusta yang mengaku sebagai rasul ini. Banyak
hal atau kejadian aneh yang muncul mengiringi kehadiran para nabi palsu ini
seolah hal atau kejadian aneh tersebut adalah sebuah mukjizat.
Kurang lebih 6 tahun yang lalu, India
digemparkan dengan kehadiran seorang yang mengaku sebagai rasul. Tidak
main-main, ia mampu melakukan hal yang menurut hukum alam hal itu tidaklah
masuk akal. Ia mampu mengeluarkan gandum dari dalam sebuah guci tanpa pernah
habis. Dari sela-sela kukunya keluar gandum. Lantas, benarkah apa yang
ditunjukkan oleh Sai Baba dan kawan-kawannya merupakan mukjizat? Jika hal itu
bukanlah mukjizat, lantas bagaimana hal itu bisa terjadi? Apa saja syarat
sebuah hal dapat dikatakan mukjizat? Hal itu akan dijelaskan lebih rinci pada
pembahasan di bab selanjutnya.
BAB II
STANDAR (SYARAT-SYARAT) I’JAZ
Terdapat perbedaan bagi ulama’
dalam menyebutkan syarat-syarat i’jaz. Namun, perbedaan tersebut hanya sebatas pengungkapan/penggunaan
bahasa yang berbeda. Pada intinya maksud dari apa yang mereka
sapaikan adalah sama. Menurut pendapat para ulama’, setidaknya ada lima syarat
sesuatu tersebut dikatakan sebagai mukjizat yang apabila tidak terenuhi makahal
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat. Ke-lima syarat tersebut adalah[1]:
1. mukjizat adalah
sesuatu yang tidak sanggup dilakukan siapapun selain Allah Tuhan sekalian Alam.
2. tidak sesuai dengan
kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam.
3. mukjizat harus berupa
hal yang dijadikan saksi oleh seorang yang mengaku membawa risalah ilahi
sebagai bukti atas kebenaran pengakuannya.
4. terjadi bertepatan
dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut.
5. tidak ada seorangpun
yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Apabila kelima syarat tersebut
terpenuhi maka sesuatu barulah bisa dikatakan sebagai mukjizat. Dan apabila
saalah satu saja syarat dari kelima syarat tersebut tidak terbenuhi maka hal
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat[2].
BAB III
MACAM-MACAM I’JAZ
Menurut syaikh Manna al
Qaththan Mukjizat dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni mukjizat Hissiyah
(inderawi) dan mukjizat ’Aqliyah (rasional). Hal ini juga disebutkan oleh Prof.
Dr. H. Said Agil Husin Al Munawwar dalam bukunya ’Al-Qur’an, Membangun Tradisi
Keslehan Hakiki’. Dalam hal ini sudah umum para Ulama’ membaginya demikian.
- Mukjizat Hissi (Inderawi)
Yang dimaksud dengan mukjizat hissi ialah mukjizat
yang berhubungan dengan indera manusia yakni yang dapat dilihat oleh mata,
didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dan dirasa oleh
lidah. Mukjizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan kepada manusia
biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan kecerdasan fikirannya, yang
tidak cakap pandangan mata hatinya dan yang rendah budi dan perasaannya[3].
Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan
yang muncul dari segi fisik yang
mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi. Secara umu dapat diambil contoh
adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah lautan, mukjizat nabi Daud dapat
melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain.[4]
- Mukjizat ’Aqliyah (Rasional)
Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih
banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran
sebagai mukjizat nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban
ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah Mukjizat al-Quran ini bias abadi
sampai hari kiamat.[5]
Mukjizat ini tidak akan mungkin dapat dicapai
dengan kekuatan panca indera, melainkan harus dicapai dengan kekuatan akal atau
kecerdasan pikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mukjizat ini
melainkan orang yang berpikir sehat, bermata hati, berbudi luhur dan yang suka
mempergunakan kecerdasan pikirannya yang jernih serta jujur.
Terdapat sepuluh segi kemukjizatan al-Qur’an yang
kesemuanya akan dapat ditangkap atau dipahami dengan akal yang sehat lagi
jernih. Kesepuluh segi tersebut adalah
1.
Aturan yang indah yang samasekali berbeda dengan
aturan yang berlaku dalam lisan (bahasa) Arab,
2.
Susunan yang menakjubkan, jauh berbeda dengan
segala macam bentuk susunan bahasa arab,
3.
Keagungan yang amat tidak mungkin bagi makhluk
untuk mendatangkannya,
4.
Syari’at yang lembut dan sempurna, yang tidak
pernah terkalahkan oleh syari’at yang ada,
5.
Mengabarkan hal-hal yang ghaib yang hanya bisa
diketahui dengan wahyu,
6.
Tidak adanya pertentangan dengan ilmu-ilmu alam
yang telah dipastikan kebenarannnya,
7.
Memenuhi setiap janji dan ancaman yang telah
dikabarkan,
8.
Ilmu dan pengetahuan yang terkandung didalamnya (baik
ilmu syari’at maupun ilmu alam),
9.
Kesanggupannya memenuhi segala kebutuhan manusia,
dan
10.
Pengaruhnya dalam hati para pengikut maupun musuh.[6]
BAB IV
KESIMPULAN
Dengan demikian, apa yang dibawa oleh Sai Baba dan
orang-orang yang bersamanya bukanlah sebuah mukjizat melainkan sebuah tipu
daya. Tak lain semua itu adalah persekutuan dengan makhluk ghaib yagn sering
kita sebut jin.
Apa yang dilakukan oleh
mereka (para nabi palsu) sama sekali tidak dapat dikatakan sebuah mukjizat. Dan
hal itu tidaklah patut untuk diyakini. Kita harus teliti dalam melihat sesuatu.
Jangan sampai kita terlena
karena kita kurang jeli.
DAFTAR PUSTAKA
- Almunawar, Said Agil Husin, M.A., AL-QUR’AN “Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki”, Ciputat Presss : Jakarta 2002.
- Supiana dkk, Ulumul Quran dan penganalan metodologi tafsir, Pustaka islamika : Bandung 2002.
- Masyhur, Kahar, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, Rineka Cipta : Jakarta 1992.
- Hendri, Ari, Mukjizat Al-Qur’an, Artha Rivera : Jakarta, tt.
- Syamsuddin, Hatta, Modul Mata Kuliah Ulumul Qur’an, Pesantren Arroyan, Surakarta : 2008
- Syaikh Muhammad Ali Ashshabuni, Attinyan fi ‘ulumi al Qur'an, Ikhtisar Ulumul Qur'an Praktis, Jakarta : Pustaka Amani, 2001
[1] Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar,
M.A., AL-QUR’AN “Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki”, Jakarta, 2002, hal. 31
[2] Syaikh Muhammad Ali Ashshabuni, Attinyan
fi ‘ulumi al Qur'an, Ikhtisar Ulumul Qur'an Praktis, Jakarta : Pustaka Amani,
2001, hal. 151.
[3] Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al
Munawar, M.A., AL-QUR’AN “Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki”, Jakarta, 2002,
hal. 32
[4] Syamsuddin, Hatta, Modul Mata Kuliah
Ulumul Qur’an, Pesantren Arroyan, Surakarta : 2008 hal. 24
[5] Idem.
[6] Syaikh Muhammad Ali Ashshabuni, Attinyan
fi ‘ulumi al Qur'an, Ikhtisar Ulumul Qur'an Praktis, Jakarta : Pustaka Amani,
2001, hal. 157-158.
0 comments:
Post a Comment