Sunday, 19 April 2015

Standar I’jazul Qur’an, Secara Bahasa, Ilmiah Dan Kandungan Isi Al-Qur’an


Fenomena nabi palsu bukanlah hal yang asing lagi di telinga kita. Bak cendawan di musim hujan, para pembawa ajaran sesat ini hadir hampir di setiap penjuru dunia. Kedatangan mereka, juga ajaran sesat yang mereka bawa sangatlah meresahkan. Bahkan pada zaman rasulullah pun sudah ada yang mengaku sebagai utusan yang mendapatkan wahyu sebagaimana Nabi Muhammad saw.

Namun bukanlah mereka yang akan kami bahas pada kesempatan kali ini. Tetapi fenomena yang luar biasa yang terjadi bersamaan dengan datangnya para pendusta yang mengaku sebagai rasul ini. Banyak hal atau kejadian aneh yang muncul mengiringi kehadiran para nabi palsu ini seolah hal atau kejadian aneh tersebut adalah sebuah mukjizat.


Kurang lebih 6 tahun yang lalu, India digemparkan dengan kehadiran seorang yang mengaku sebagai rasul. Tidak main-main, ia mampu melakukan hal yang menurut hukum alam hal itu tidaklah masuk akal. Ia mampu mengeluarkan gandum dari dalam sebuah guci tanpa pernah habis. Dari sela-sela kukunya keluar gandum. Lantas, benarkah apa yang ditunjukkan oleh Sai Baba dan kawan-kawannya merupakan mukjizat? Jika hal itu bukanlah mukjizat, lantas bagaimana hal itu bisa terjadi? Apa saja syarat sebuah hal dapat dikatakan mukjizat? Hal itu akan dijelaskan lebih rinci pada pembahasan di bab selanjutnya.

  
BAB II
STANDAR (SYARAT-SYARAT) I’JAZ

Terdapat perbedaan bagi ulama’ dalam menyebutkan syarat-syarat i’jaz. Namun, perbedaan tersebut hanya sebatas pengungkapan/penggunaan bahasa yang berbeda. Pada intinya maksud dari apa yang mereka sapaikan adalah sama. Menurut pendapat para ulama’, setidaknya ada lima syarat sesuatu tersebut dikatakan sebagai mukjizat yang apabila tidak terenuhi makahal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat. Ke-lima syarat tersebut adalah[1]:
1.      mukjizat adalah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan siapapun selain Allah Tuhan sekalian Alam.
2.      tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam.
3.      mukjizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang yang mengaku membawa risalah ilahi sebagai bukti atas kebenaran pengakuannya.
4.      terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut.
5.      tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Apabila kelima syarat tersebut terpenuhi maka sesuatu barulah bisa dikatakan sebagai mukjizat. Dan apabila saalah satu saja syarat dari kelima syarat tersebut tidak terbenuhi maka hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat[2].


BAB III
MACAM-MACAM I’JAZ
Menurut syaikh Manna al Qaththan Mukjizat dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni mukjizat Hissiyah (inderawi) dan mukjizat ’Aqliyah (rasional). Hal ini juga disebutkan oleh Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawwar dalam bukunya ’Al-Qur’an, Membangun Tradisi Keslehan Hakiki’. Dalam hal ini sudah umum para Ulama’ membaginya demikian.

  1. Mukjizat Hissi (Inderawi)
Yang dimaksud dengan mukjizat hissi ialah mukjizat yang berhubungan dengan indera manusia yakni yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dan dirasa oleh lidah. Mukjizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan kepada manusia biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan kecerdasan fikirannya, yang tidak cakap pandangan mata hatinya dan yang rendah budi dan perasaannya[3].
Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang  muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi. Secara umu dapat diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah lautan, mukjizat nabi Daud dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain.[4]

  1. Mukjizat ’Aqliyah (Rasional)
Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran sebagai mukjizat nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah Mukjizat al-Quran ini bias abadi sampai hari kiamat.[5]
Mukjizat ini tidak akan mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indera, melainkan harus dicapai dengan kekuatan akal atau kecerdasan pikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mukjizat ini melainkan orang yang berpikir sehat, bermata hati, berbudi luhur dan yang suka mempergunakan kecerdasan pikirannya yang jernih serta jujur.
Terdapat sepuluh segi kemukjizatan al-Qur’an yang kesemuanya akan dapat ditangkap atau dipahami dengan akal yang sehat lagi jernih. Kesepuluh segi tersebut adalah
1.      Aturan yang indah yang samasekali berbeda dengan aturan yang berlaku dalam lisan (bahasa) Arab,
2.      Susunan yang menakjubkan, jauh berbeda dengan segala macam bentuk susunan bahasa arab,
3.      Keagungan yang amat tidak mungkin bagi makhluk untuk mendatangkannya,
4.      Syari’at yang lembut dan sempurna, yang tidak pernah terkalahkan oleh syari’at yang ada,
5.      Mengabarkan hal-hal yang ghaib yang hanya bisa diketahui dengan wahyu,
6.      Tidak adanya pertentangan dengan ilmu-ilmu alam yang telah dipastikan kebenarannnya,
7.      Memenuhi setiap janji dan ancaman yang telah dikabarkan,
8.      Ilmu dan pengetahuan yang terkandung didalamnya (baik ilmu syari’at maupun ilmu alam),
9.      Kesanggupannya memenuhi segala kebutuhan manusia, dan
10.  Pengaruhnya dalam hati para pengikut maupun musuh.[6]


BAB IV
KESIMPULAN

            Dengan demikian, apa yang dibawa oleh Sai Baba dan orang-orang yang bersamanya bukanlah sebuah mukjizat melainkan sebuah tipu daya. Tak lain semua itu adalah persekutuan dengan makhluk ghaib yagn sering kita sebut jin.

            Apa yang dilakukan oleh mereka (para nabi palsu) sama sekali tidak dapat dikatakan sebuah mukjizat. Dan hal itu tidaklah patut untuk diyakini. Kita harus teliti dalam melihat sesuatu. Jangan sampai kita terlena karena kita kurang jeli.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Almunawar, Said Agil Husin, M.A., AL-QUR’AN “Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki”, Ciputat Presss : Jakarta 2002.
  2. Supiana dkk, Ulumul Quran dan penganalan metodologi tafsir, Pustaka islamika : Bandung 2002.
  3. Masyhur, Kahar, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, Rineka Cipta : Jakarta 1992.
  4. Hendri, Ari, Mukjizat Al-Qur’an, Artha Rivera : Jakarta, tt.
  5. Syamsuddin, Hatta, Modul Mata Kuliah Ulumul Qur’an, Pesantren Arroyan, Surakarta : 2008
  6. Syaikh Muhammad Ali Ashshabuni, Attinyan fi ‘ulumi al Qur'an, Ikhtisar Ulumul Qur'an Praktis, Jakarta : Pustaka Amani, 2001


[1] Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A., AL-QUR’AN “Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki”, Jakarta, 2002, hal. 31
[2] Syaikh Muhammad Ali Ashshabuni, Attinyan fi ‘ulumi al Qur'an, Ikhtisar Ulumul Qur'an Praktis, Jakarta : Pustaka Amani, 2001, hal. 151.
[3] Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A., AL-QUR’AN “Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki”, Jakarta, 2002, hal. 32
[4] Syamsuddin, Hatta, Modul Mata Kuliah Ulumul Qur’an, Pesantren Arroyan, Surakarta : 2008 hal. 24
[5] Idem.
[6] Syaikh Muhammad Ali Ashshabuni, Attinyan fi ‘ulumi al Qur'an, Ikhtisar Ulumul Qur'an Praktis, Jakarta : Pustaka Amani, 2001, hal. 157-158.

Unknown

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.

0 comments:

 

Copyright @ 2013 Edi.my.id.